Alasan lain yang tak kalah penting adalah pencarian jati diri dan kemandirian. Kebebasan untuk mengeksplorasi potensi, minat, dan passion menjadi daya tarik tersendiri.Â
Menunda pernikahan memberi ruang untuk berpetualang, menemukan passion, dan membangun kepercayaan diri sebelum memasuki komitmen jangka panjang.
Lantas, apakah waithood selalu dipandang sebelah mata? Sayangnya, masih banyak stereotipe negatif yang melekat pada mereka yang memilih jalan ini.Â
"Telat menikah", "tak laku", atau "memilih karir daripada keluarga" menjadi cap yang sering dilontarkan, terutama oleh generasi yang lebih tua.Â
Tekanan sosial ini terkadang bisa sangat mempengaruhi mental dan membuat seseorang mempertanyakan pilihannya sendiri.
Namun, penting untuk dipahami bahwa waithood bukanlah penolakan terhadap pernikahan. Sebaliknya, ini adalah sebuah keputusan sadar untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik sebelum memasuki babak baru dalam kehidupan.Â
Sama seperti buah anggur yang butuh waktu untuk matang sempurna, cinta dan komitmen juga membutuhkan waktu untuk tumbuh dan berkembang.
Menghormati pilihan hidup individu menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif. Alih-alih memberikan tekanan, keluarga dan teman seharusnya menjadi support system yang memberikan dukungan dan pengertian.Â
Dialog terbuka dan memahami alasan di balik keputusan seseorang menjadi langkah awal untuk membangun rasa percaya diri dan penerimaan.
Menunda pernikahan bukan berarti menunda kebahagiaan. Kebahagiaan bisa ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pencapaian akademik, karier, perkembangan diri, dan hubungan sosial yang sehat.
Bagi mereka yang sedang menjalani waithood, perjalanan ini bisa menjadi kesempatan emas untuk berinvestasi pada diri sendiri.Â