Mohon tunggu...
Julianda BM
Julianda BM Mohon Tunggu... Administrasi - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh". Sudah menulis ratusan artikel dan opini. Bekerja sebagai ASN Pemda. Masih tetap belajar dan belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bumi Menanti Cinta Kita, Selamatkan Kehidupan

23 Januari 2024   14:41 Diperbarui: 23 Januari 2024   15:08 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber gambar: https://aktual.com/

Oleh: Julianda BM

Bumi. Kata sederhana, namun membungkus makna luar biasa. Tempat berpijak, sumber kehidupan, rumah bagi milyaran cerita. Tapi bisakah kau mendengar bisikannya, Bumi kita sedang menangis? 

Ya, menangis dalam desahan hutan yang terbakar, rintihan terumbu karang yang memutih, dan jeritan spesies yang lenyap ditelan keserakahan. Ada luka di tubuhnya, ada demam di atmosfernya, dan kita, penghuni utamanya, tak boleh lagi tuli terhadap jeritan ini.

Ingatkah saat kecil kita dipeluk hangat oleh tanah merah, berkejaran dengan riang di bawah pelukan langit biru? Bumi kala itu adalah taman bermain raksasa, sumber kelimpahan dan keajaiban. 

Namun, dewasa ini, taman itu perlahan gersang, kelimpahan menipis, dan keajaiban terancam punah. Kita asyik mengejar impian di atas punggung Bumi, tanpa menyadari kita sedang mendaki gunung kejatuhan kita sendiri.

Umat manusia seringkali lupa diri. Kita terbius oleh mantra kemajuan, pembangunan, dan kemakmuran, tanpa sadar telah melampaui batas.

 Egosentrisitas berbalut ambisi telah membutakan kita pada ketergantungan mutlak kepada ekosistem Bumi. Kita mengambil lebih dari yang bisa dikembalikan, merusak lebih dari yang bisa diperbaiki. 

Kita lupa, Bumi bukanlah mesin tak berbatas, melainkan makhluk hidup yang kompleks dan rapuh.

Tapi tunggu, apakah ini akhir cerita? Apakah hanya ada nada duka dalam simfoni kehidupan di Bumi? Tidak! Di tengah kepiluan, ada nada lain yang mulai menguat: nada kesadaran. 

Semakin banyak manusia yang tersadar dari mabuk pembangunan, menoleh kepada Bumi dengan tatapan penuh cinta dan keprihatinan. Mereka menyadari, bukan keserakahan dan eksploitasi, melainkan cinta dan tanggung jawablah yang akan menyelamatkan kita semua.

Gerakan peduli lingkungan bukan lagi milik aktivis beranting di pinggir jalan. Inisiatif global bermunculan seperti kuncup-kuncup harapan. 

Dari teritorial gurun yang ditanami pohon, terumbu karang yang direhabilitasi, hingga energi terbarukan yang menggantikan energi fosil, manusia mulai menjahit ulang hubungannya dengan Bumi.

Namun, kesadaran dan inisiatif lokal saja tak cukup. Kita perlu simfoni global, orkestrasi harmonis tindakan kolektif yang menggema hingga pelosok terpencil. 

Ini bukan saatnya untuk nasionalisme sempit, tapi saatnya untuk persaudaraan Bumi. Kita perlu kebijakan internasional yang tegas, investasi hijau yang masif, dan edukasi lingkungan yang menyeluruh.

Masing-masing kita memiliki peran, tak peduli profesi, usia, atau status sosial. Para pemimpin harus berani mengambil kebijakan berkelanjutan yang mengutamakan kesejahteraan Bumi, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi semu. 

Pedagang dan produsen harus mengadopsi praktik ramah lingkungan, dari daur ulang sampah hingga produk organik. Konsumen harus bijak dalam membeli, mengurangi jejak karbon, dan mendukung bisnis yang berwawasan lingkungan.

Anak-anak, penjaga masa depan Bumi, harus diberi bekal pengetahuan dan cinta lingkungan sejak dini. Tanamkan dalam benak mereka bahwa Bumi bukan warisan leluhur, tapi pinjaman dari anak cucu. Ajak mereka berkebun, jelajahi alam, dan ajarkan mereka mendengar bisikan Bumi.

Cinta bukanlah kata-kata manis, melainkan tindakan nyata. Cinta kepada Bumi bukanlah slogan di spanduk, tapi perubahan konkrit dalam gaya hidup kita. 

Ini bisa dimulai dengan hal-hal sederhana: mematikan lampu yang tak terpakai, mengurangi penggunaan plastik, berjalan kaki untuk jarak dekat, dan menanam pohon di lahan kosong. Setiap tindakan sekecil apapun, jika dilakukan bersama-sama, akan menghasilkan dampak yang dahsyat.

Bumi menunggu cinta kita. Bukan cinta buta yang menutup mata terhadap kerusakan, tapi cinta bijak yang mau mengakui kesalahan, cinta aktif yang mau berbenah dan memperbaiki. 

Mari kita jadikan orkestra global ini bukan sekadar simfoni keprihatinan, tapi simfoni aksi. Mari kita jadikan nyanyian cinta kita kepada Bumi menjadi syair kehidupan bagi generasi mendatang.

Ingat, masa depan bukan warisan, tapi tanggung jawab. Bumi bukan hanya planet, tapi rumah bersama. Dan simfoni kehidupan di Bumi tak boleh berakhir karena bisu tuli kita terhadap jeritannya. 

Mari kita bersama-sama lantunkan nada-nada cinta, nada-nada perubahan, nada-nada harapan. Demi Bumi, demi kita, demi nafas kehidupan yang berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun