Cerita Batik Sogan
Oleh: Julianda BM
Udara Pasar Seni Senen menggelitik hidungku dengan aroma gembul wangi rempah dan dupa, berpadu riuh tawa tawar-menawar dan alunan gamelan yang mengalun syahdu. Mataku tak henti menari dari satu kios ke kios lain, seolah mencari sepotong surga di antara deretan kain warna-warni. Aku sedang berburu harta karun, bukan emas atau permata, tapi sesuatu yang lebih berharga: baju batik.
Bukan sekadar bahan untuk menutupi tubuh, bagiku, batik adalah cerita. Setiap guratan canting, setiap titik warna, menyimpan sejarah, doa, dan keindahan yang tak lekang zaman. Hari ini, aku ingin menemukan cerita baru yang akan melekat di jiwaku.
Kaki melangkah gontai, jemariku menelusuri tekstur kain halus, dingin, dan terkadang kasar. Ada batik Solo berwajah klasik, batik Pekalongan bersuasana floral, dan batik Cirebon dengan geometrisnya yang tegas. Masing-masing menawarkan pesona unik, tapi belum ada yang menyentuh benang hatiku.
Hingga mata menangkap sudut kios mungil di ujung lorong. Aroma kayu bakar dan minyak kelapa menyeruak lembut, mengundangku mendekat. Seorang wanita tua, kerut wajahnya bercerita tentang perjalanan panjang, dengan senyum ramah mempersilakan aku masuk.
Kios itu bagai peti harta. Batik-batik tak lagi digantung, melainkan digelar rapi di atas meja tua, seakan memamerkan keindahannya. Ada motif Parangkusumo yang gagah, Kawung yang sarat filosofi, dan Batik Sogan yang sederhana namun elegan. Jantungku mulai berdebar kencang, aroma nostalgia menyergap, membawaku kembali ke masa kecil di pelukan nenekku.
Wanita tua itu, Ibu Maryam, menyapaku dengan suara lembut. "Cari batik apa, Nduk?"
"Saya mencari... cerita," kataku, sedikit ragu.
Ibu Maryam tersenyum bijak. "Batik memang penuh cerita," ujarnya, jemarinya membentangkan lembaran kain. "Lihat ini, Batik Sekar Jagad. Lihatlah bunga-bunga dan daun-daun, melambangkan kesuburan dan harmoni alam. Ini Batik Sidomukti, motifnya seperti belulang bambu, simbol ketekunan dan kesabaran."