Penolakan yang dialami oleh pengungsi Rohingya di Aceh baru-baru ini merupakan sebuah dilema moral yang kompleks. Di satu sisi, pengungsi Rohingya adalah korban kekerasan dan persekusi di Myanmar, sehingga mereka berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan. Di sisi lain, penolakan dari warga Aceh juga dapat dipahami, mengingat mereka khawatir akan menimbulkan masalah sosial dan keamanan.Â
Penolakan ini merupakan yang pertama kali terjadi di Aceh, yang sebelumnya dikenal sebagai tempat yang ramah terhadap para pengungsi.
Lantas, siapa yang seharusnya bertanggung jawab untuk menjamin nasib pengungsi Rohingya?
Tanggung Jawab Negara Asal
Secara hukum internasional, negara asal memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi warganya, termasuk para pengungsi. Namun, dalam kasus pengungsi Rohingya, Myanmar, negara asal mereka, justru menjadi sumber masalah.
Myanmar telah melakukan diskriminasi dan penindasan terhadap etnis Rohingya selama bertahun-tahun. Hal ini menyebabkan ratusan ribu Rohingya melarikan diri dari Myanmar dan menjadi pengungsi di negara-negara lain.
Tindakan Myanmar tersebut telah melanggar hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi. Konvensi tersebut menyatakan bahwa negara asal memiliki tanggung jawab untuk melindungi warganya, termasuk para pengungsi.
Tanggung Jawab Internasional
Pada dasarnya, tanggung jawab untuk menangani masalah pengungsi merupakan tanggung jawab internasional. Hal ini ditegaskan dalam Konvensi Pengungsi 1951, yang menyatakan bahwa setiap negara anggota Konvensi memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan sementara kepada pengungsi yang melarikan diri dari negara asalnya karena alasan-alasan tertentu, seperti perang, kekerasan, atau penganiayaan.
Dalam kasus pengungsi Rohingya, Myanmar sendiri telah menyatakan bahwa mereka tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara. Hal ini membuat Rohingya menjadi stateless, atau tidak memiliki kewarganegaraan. Sebagai konsekuensinya, Rohingya tidak memiliki hak untuk kembali ke Myanmar.