Oh ya, Saudara, saya agak sedikit terganggu saat butiran-butiran bubuk susu dalam kaleng itu mengatakan saya bahagia dibeli dan bangga meninggalkannya. Seolah-olah ia tak pernah dibeli saja. Jangan percaya. Ia juga sering dibeli, tapi tak sesering saya. Alasannya Saudara pasti tahu, jelas saja karena ia lebih banyak. Bayi-bayi gemas itu tentu butuh waktu lebih lama untuk menghabiskannya dibanding menghabiskan saya. Fokusnya hanya pada calon pembeli yang kesulitan ekonomi.
Saudara, saya bukan sedang ingin membela diri dan menyudutkan saudara satu rahim saya itu. Karena saya sudah terbiasa dengan cerita-cerita yang dikarang oleh mereka-mereka yang berpura-pura menderita. Saudara beli saja ya, bubuk susu yang sesuai dengan kebutuhan saudara.
Pembeli Bubuk Susu
Sebenarnya saya tidak terlibat dalam perdebatan bubuk susu yang sudah Saudara baca di atas. Saya hanya seorang bapak muda yang tengah kaget ternyata kehidupan sudah sampai di sini. Sampai-sampai bubuk susu yang tengah berdebat saja masuk ke telinga saya. Jelas saya sudah hilang kesadaran. Bagaimana bisa percakapan benda mati menjadi sumber kebisingan tiap saya masuk minimarket.
Membeli susu menjadi rutinitas saya akhir-akhir ini. Bukan karena istri saya yang malas memberi asi untuk anak kami yang baru saja menjadi penghuni bumi. Ia sungguh mati-matian ingin melakukannya, tapi Saudara tentu tahu bahwa tak semua hal dapat terlaksana sesuai rencana. Maka saya coba menikmati adegan perdebatan bubuk susu yang entah kapan akan berakhir itu.
Ya, saya memang seringkali membeli susu dalam kemasan kardus. Para bubuk susu itu menyampaikan hal yang benar adanya. Pun saya juga pernah membeli susu dalam kemasan kaleng, meskipun hanya sesekali saat dompet saya agak penuh terisi.
Sekali lagi, karena saya tidak terlibat dalam perdebatan bubuk susu itu, maka saya hanya akan sedikit saja berbicara.
Tiap kali saya akan membeli bubuk susu, dan menelepon istri saya, Saudara tahu apa yang sedang istri saya sampaikan? Mas, Beli susu yang kardus kecil saja, ya. Biar hemat. Saya tidak usah dibelikan apa-apa. Sudah kenyang. Sudah makan. Ya, istri saya seringkali pura-pura kenyang, sedang masak dan makan sebentar saja jelas ia tak bisa.
Anak kita terus menangis, Mas. Mungkin ingin minum Asi, ya. Maaf ya Mas, merepotkan Mas lagi, menghabiskan uang lagi gara-gara saya tidak bisa memberi Asi.
Handphone saya jauhkan, tak tega saya mendengar lanjutan isak tangisnya. Jelas bukan hanya bubuk susu itu yang tengah berdebat. Istri saya juga ramai berdebat dengan dirinya sendiri perihal susu bubuk dan asi.
Setelah susu yang saya beli masuk ke kantong, suara isak tangis istri dan putri saya belum juga reda. Handphone saya matikan. Saya ikut menangis sepanjang perjalanan pulang, meninggalkan para bubuk susu yang tak berhenti berdebat.