Bubuk Susu dalam Kaleng
Saya adalah butiran-butiran bubuk susu dalam sebuah kaleng. Hari-hari saya hanya celingak celinguk saja, ya mau ngapain lagi. Saya dipajang rapi di sebuah rak minimarket, berharap ada yang melirik untuk membeli. Tentu saja setelahnya akan diseduh dan disajikan kepada bayi-bayi yang kehausan.
Sebenarnya saya cukup bosan ada di rak ini. Hanya melihat ibu-ibu yang sibuk membaca label harga, menimbang-nimbang, dan tentu saja tidak mengambil saya setelahnya. Atau melihat bapak-bapak yang heboh menelepon istrinya perkara lupa pesanan susu mana yang harus dibeli, maklum bapak itu tadi sibuk mengincar rokok di meja kasir. Saudara tahu kan susu mana yang diambil bapak itu? Ya, bukan saya.
Satu rak di bawah saya adalah susu dalam kemasan kardus. Ia laris saja dibeli. Padahal kami ini dilahirkan dari rahim pabrik yang sama, tapi ia dibajui kardus sedang saya dibalut keras dalam kaleng. Padahal beratnya tak seberapa, mana kenyang bayi-bayi itu.
Pernah sekali waktu saya ingin menyapa saudara satu rahim saya itu, tapi urung karena tubuhnya sudah diambil begitu saja dan dimasukkan keranjang oleh ibu-ibu yang sepertinya sudah sangat hafal dengan harga masing-masing kami. Saudara tahu? Melihat bubuk susu dalam kardus itu bergoyang kesana-kemari dalam keranjang sudah membuat saya yakin bahwa ia bahagia bisa meninggalkan saya yang di sini-sini saja.
Saya ini cukup berat. Harga saya juga cukup mahal. Apa karena itu para ibu dan bapak yang mencintai putra-putrinya enggan mengambil saya dan membawa pulang dengan gembira? Bosan sekali saya ada di rak ini. Apalagi bubuk susu dalam kardus itu semakin berisik membenturkan badannya ke ujung rak tiap kali mau diambil orang, seolah-olah mau mengatakan, "Aku duluan, ya!" Menyebalkan.
Bubuk Susu dalam Kardus
Saudara sudah dengar cerita teman saya? Atau ia menyebut kami berasal dari rahim pabrik yang sama, berarti bisa dikatakan kami bersaudara. Tiap hari ia menggerutu. Bohong sebenarnya kalau ia katakan pernah sekali waktu ingin menyapa saya. Bagaimana bisa ia yang tiap hari berdebat dengan saya perihal laku tidak laku berkata demikian. Tapi tak apa, saya sudah terbiasa.
Setidaknya seminggu dua kali ada seorang bapak muda-yang disebut saudara saya itu sibuk menelepon istrinya-membeli saya. Sepanjang perjalanan pulang ia berdebat dengan batinnya sendiri, bukan perkara rokok di meja kasir seperti yang diduga saudara saya, tapi tentang sebuah hal yang membuatnya sedih.
Saudara tahu tidak laki-laki itu begitu ingin membeli susu kaleng? Tapi urung dibelinya. Alasannya jelas saja, uangnya pas-pasan. Lalu dipilihlah saya yang lebih kecil, dengan harapan beberapa hari lagi rezeki menghampirinya untuk bisa membeli saya kembali.