Mohon tunggu...
Lorentius Agung Prasetya
Lorentius Agung Prasetya Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Apoteker, Artcut Holes handmade papecut, sambil menulis dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Syukur: Sebuah Refleksi

29 Desember 2022   11:11 Diperbarui: 29 Desember 2022   11:24 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukankah yang Dia kehendaki adalah segala ciptaan mensyukuri apa yang diberikan pencipta dan memuliakan Tuhan karena rasa syukurnya.

Dia tidak meminta bayaran atau imbalan untuk hal baik yang akan/telah kita terima, karena memang tidak mungkin kita akan sanggup/ impas membalas Dia. Lagipula, dengan apa kita akan membayar/membalas Dia karena yang kita punya adalah milik Dia. 

Sedari kecil, aku diajarkan untuk bersyukur. Tetapi belum lama ini aku baru mengerti apa artinya.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Saya pernah mendengarkan suatu kisah :

Ada seorang anak kecil yang salah satu kakinya tidak berfungsi dengan normal layaknya anak-anak lain. Pada saat dia ikut dalam suatu game ice breaking, dia tidak tampak merasa berbeda dari teman-temannya yang lain. Ketika harus cepat-cepat bergerak ke kanan, ke kiri atau sedikit gerakan lari untuk meraih target, dia tampak antusias. Padahal teman-temannya dan mungkin dia sendiri juga tahu bahwa akan sulit untuk menang dalam game. Bahkan kemungkinan terjatuh pun besar, dan memang dia berkali-kali terjatuh. Tetapi reaksi dia saat jatuh bukanlah menjadi kecewa atau sedih karena dia tidak bisa secepat yang lain, karena kakinya tidak normal. Dia hanya meringis lalu tertawa, dan bangkit lagi. Begitu terus menerus hingga acara selesai. Malah kelihatannya dia adalah satu-satunya anak yang terus-menerus antusias dalam seluruh kegiatan sedangkan anak-anak yang lain malah sudah mulai lelah atau bosan. Suatu ketika dia pernah ditanya, "Nak, maaf. Kamu kan tidak seperti anak-anak yang lain. Apa pernah kamu merasa sedih?".
Dia menjawab," Kata ayah ibu, dulu saya dilahirkan normal.Tetapi saat saya balita ada sesuatu peristiwa yang menjadikan saya seperti ini. Tapi sekarang saya sudah tidak sedih lagi. Kalau memang Tuhan ingin saya seperti ini, ya tidak apa-apa. Soalnya saya sudah dikasih ayah ibu yang baik, keluarga yang baik, bahkan teman-teman saya ini sangat baik ke saya. Dan saya merasa tidak kekurangan apa-apa juga. Jadi kalau memang Tuhan ingin saya begini ya tidak apa-apa. Saya bisa menerima".

 

Mendengar jawaban itu, saya seperti tertampar. 

Aku mulai menyadari, bahwa bersyukur itu bukan sekedar berkata "Terima kasih", tetapi sungguh menikmati apa yang kita terima. Menikmati itu adalah menerima apa yang sudah kita terima.

Aku jadi berpikir, berapa sering kita berkata "Terima kasih", juga merasa sudah bersyukur dalam doa atau dalam hati, tetapi belum sungguh menikmati alias menerima apa yang sudah kita terima.

Dengan kesadaran itu, aku ingin membangun niat yang baru, untuk menjalani hidup, menikmatinya sambil tetap berupaya sebaik yang aku bisa dan mempercayakan sisanya kepada sang penyelenggara hidupku. Kiranya nanti apa telah kujalani bisa sedikit menyenangkan sang penciptaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun