Mohon tunggu...
Lorentius Agung Prasetya
Lorentius Agung Prasetya Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Apoteker, Artcut Holes handmade papecut, sambil menulis dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Gizi buruk: Haruskah Berlanjut?

19 September 2013   16:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:40 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sembilan bulan bergulir di 2013, namun kesejahteraan terutama di bidang kesehatan masih menjadi sekedar wacana. Masih banyak anak Indonesia yang mengalami kekurangan gizi, seperti kasus busung lapar yang diberitakan oleh banyak media akhir-akhir ini. Hal seperti ini tidak hanya ditemukan di pulau atau daerah pelosok yang pembangunannya belum maju, tetapi juga terjadi di pulau Jawa, bahkan di kota besar seperti Jakarta.

Sekilas, anak-anak di negara kita sepertinya terlihat baik-baik saja, dan tidak terlihat kelaparan. Namun bukan berarti semua anak sudah mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk kesehatan dan pertumbuhan. Ketika menimbang anak di Posyandu, kita dapat melihat apakah berat badannya sesuai dengan usia atau tidak. Jika lebih rendah, maka dapat dikatakan mereka kekurangan gizi. Memang masih ada metode lain untuk menentukan kecukupan gizi, namun cara ini merupakan cara yang paling mudah dan lazim digunakan.

Penyebab yang kompleks

Mengapa di zaman modern seperti sekarang masih banyak anak yang mengalami kekurangan gizi ? Seandainya tidak ada orang yang miskin, maka segala persoalan di atas mungkin akan menjadi lebih mudah terselesaikan. Jika kita mempunyai uang yang cukup bahkan berlebih, kita bisa memperoleh air yang bersih dan makan makanan berkualitas. Kita juga bisa memeriksakan dan merawat diri dan anak ke tenaga kesehatan yang baik.

Seringkali bayi tidak mendapatkan asupan yang tepat dalam jumlah yang sesuai. Pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan adalah langkah ideal, namun masih sering terjadi bayi di Indonesia diberikan ASI kurang dari 6 bulan. Kesehatan ibu juga ikut berperan dalam menentukan kecukupan gizi anak. Ibu yang kekurangan gizi mempunyai kecenderungan melahirkan anak yang juga kekurangan gizi. Jadi sebenarnya masalah kekurangan gizi ini bukan semata-mata karena pendapatan yang minim. Ibu yang miskin mungkin saja tidak mendapatkan informasi yang memadai atau kurang informasi tentang perawatan anak yang baik, atau bahkan ibu tidak mempunyai cukup waktu untuk merawat bayi karena kesibukan bekerja sehingga kesehatan anak kurang diperhatikan.

Ancaman krisis pangan yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga pangan dunia juga turut berkontribusi terhadap angka kekurangan gizi. Badan PBB untuk Urusan Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan adanya peningkatan harga pangan global pada kuartal pertama tahun 2012 ini membuat jutaan orang beresiko tidak cukup memiliki sesuatu untuk dimakan. Kenaikan sebesar delapan persen dari Desember 2011 hingga Maret 2012 diakibatkan oleh kenaikan harga minyak, kondisi cuaca yang merugikan, dan permintaan yang kuat Asia terhadap impor pangan. Meningkatnya harga pangan dalam jangka panjang bukan hanya meningkatkan angka kekurangan gizi tetapi juga berpotensi mengakibatkan bencana kelaparan.

Bahkan sejak meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu, keadaan menjadi semakin sulit terutama bagi masyarakat bawah.

Apa yang bisa diperbaiki

Sebenarnya tidak sedikit juga orang yang sudah bisa hidup berkecukupan bahkan mewah di negara ini. Namun sungguh ironis jika ternyata masih lebih banyak lagi orang yang berkekurangan gizi. Bahkan dalam pemberitaan media, sering kita dengar para wakil rakyat belum menunjukkan keseriusan dalam mengatasi masalah seperti ini. Munculnya rencana perbaikan gedung wakil rakyat yang diperkirakan bernilai milyaran rupiah ketika masih banyak rakyat yang kelaparan adalah salah satu contohnya. Padahal, jika kita amati anggaran untuk pembangunan bidang kesehatan masih jauh dari cukup. Dalam hal ini sikap berbagi dan merakyat perlu dikembangkan agar tercipta pemerataan kesejahteraan terutama di bidang kesehatan.

Memang dalam jangka panjang tidak hanya diperlukan pemerataan materi saja, namun aspek kehidupan yang lain seperti pendidikan dan pekerjaan juga perlu mendapatkan perhatian. Tersedianya informasi kesehatan yang memadai dan juga promosi kesehatan yang tepat melalui Posyandu, kegiatan penyuluhan, maupun melalui sarana kesehatan yang lain diharapkan membantu masyarakat terutama yang masih kesulitan mendapatkan akses informasi. Sumber daya manusia terutama para tenaga kesehatan juga perlu ditingkatkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat awam.

Angka pengangguran yang masih tinggi secara tidak langsung juga mempunyai kontribusi terhadap keberhasilan program pengurangan angka kekurangan gizi sehingga ketersediaan lapangan kerja yang layak juga menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Mungkin kita berpikir bahwa itu bukanlah urusan kita, tetapi tanggung jawab pemerintah, namun bukan berarti kita boleh berdiam diri. Menciptakan sektor usaha baru dengan mendayagunakan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada melalui Usaha Kecil dan Menengah (UKM), selain menggerakkan roda perekonomian juga dapat menyerap tenaga kerja sehingga angka pengangguran dapat ditekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun