Sampai hari ini, Selasa 14 April 2020, Covid 19 masih menghantui dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan informasi resmi dari pemerintah Indonesia sebagaimana tercantum pada laman Covid19, Senin 13 April 2020, ada 4.557 orang yang positif Covid 19 dengan rincian: 3778 dirawat, 380 yang sembuh dan 399 yang sudah meninggal dunia.
Dengan demikian, ada peningkatan cukup besar jumlah orang yang positif Covid 19. Begitu juga dengan yang meninggal dunia. Yang menggembirakan adalah berita tentang pasien-pasien yang berhasil disembuhkan dan mereka bisa kembali ke rumah masing-masing. Di tengah situasi yang tak mudah ini, semua orang terus diminta dan diharapkan terus bekerja sama dalam segala aspek untuk mengatasi wabah ini.
Bukan rahasia lagi bahwa Covid 19 ini telah mengubah bahkan mengacaukan banyak hal. Segala aspek kehidupan manusia dikacaukan olehnya. Salah satu aspek penting yang dikacaukan oleh Covid 19 adalah sektor pendidikan formal.
Saat ini saya secara khusus menulis artikel reflektif tentang efek Covid 19 pada sektor pendidikan formal tingkat dasar sampai menengah (SD-SMA/SMK), khususnya di NTT.
Anak-Anak Sekolah Dirumahkan
Berdasarkan instruksi Gubernur NTT, sejak 20 Maret 2020 lalu, anak-anak sekolah di NTT dirumahkan. Tak ada kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Pihak sekolah (para guru) wajib memberikan tugas kepada peserta didik agar dikerjakan di rumah.
Anak-anak belajar di rumah. Nanti saat kembali ke sekolah, tugas-tugas tersebut dikumpulkan. Syukur kalau situasi memungkinkan, diadakan ‘Pembelajaran online’.
“Pembelajaran online” maksudnya guru dan peserta didik berkomunikasi setiap hari tentang materi pelajaran tertentu melalui internet, bahkan bisa saling melihat wajah (video call). Akan tetapi, “Pembelajaran online” ini mengandaikan banyak hal, antara lain: ada listrik (PLN), HP, Laptop, pulsa/paket data internet dan sinyal HP-Internet.
Sayangnya di NTT masih banyak tempat yang tidak ada listrik (PLN) dan sinyal hp-internet. Memang, beberapa waktu lalu (03 April 2020) melalui laman facebooknya, Presiden Jokowi menulis bahwa ada lima desa di NTT yang belum berlistrik. Apa yang disampaikan bapak presiden ini keliru. Lebih tepatnya, bapak presiden mendapatkan informasi yang keliru dari anak buahnya di NTT.
Kenyataannya, saat ini masih banyak desa di NTT yang belum berlistrik. Belum lagi tempat-tempat yang tidak memiliki sinyal HP dan internet. Tambah runyam lagi karena situasi kemiskinan yang tak memungkinkan orang tua menyiapkan HP, Pulsa, atau Laptop untuk anak-anaknya yang masih sekolah. Dengan demikian, ide “Pembelajaran online” ini sulit diterapkan di banyak tempat di NTT saat ini.
Tentang tantangan “Pembelajaran Online” ini, saya beri contoh tentang kondisi sekolah tempat saya mengabdi. Saya mengabdi di SMAK seminari St. Yohanes Paulus II-Labuan Bajo, kabupaten Manggarai Barat.
Jumlah siswa/siswi di sekolah ini lebih dari 300 orang. Mereka umumnya berasal di tiga kabupaten di Manggarai (Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur). Bahkan ada yang berasal dari luar Manggarai.
Sekadar informasi bahwa masih banyak tempat di tiga kabupaten ini yang tidak memiliki listrik (PLN) dan sinyal HP-internet. Dan cukup banyak siswa/i kami yang berasal dari tempat seperti itu.
Tentu situasi ini menjadi kendala untuk melakukan “Pembelajaran online.” Untuk menyiasatinya, kami telah memberikan tugas offline kepada para peserta didik dan meminta mereka mengerjakannya di rumah. Tugas-tugas tersebut dikumpulkan nanti saat kembali ke sekolah. Hanya ini yang bisa kami lakukan.
“Belajar dari Rumah”
Beberapa hari terakhir ini saya mendapatkan informasi bahwa Kemdikbud membuat program menarik, “Belajar dari Rumah” yang ditayangkan melalui TVRI, hari Senin-Jumat (08.00 -23.30). Hari Sabtu – Minggu (08.00-23.30) juga ada tayangan tentang Kebudayaan dan Film Indonesia terbaik. Yang perlu mengambil bagian dalam program ini adalah anak-anak sekolah dari PAUD sampai SMA/SMK.
Setiap jenjang pendidikan ada pembagian waktu tertentu. Tak hanya itu, ada juga tayangan tentang pengasuhan dan pendidikan anak. Barangkali ini untuk orang tua atau pendidik. Program ini telah mulai berjalan kemarin, 13 April 2020.
Program “Belajar dari Rumah” ini adalah program terobosan yang dibuat oleh pemerintah melalui Kemdikbud agar di masa Covid 19, anak-anak sekolah tetap mendapatkan informasi yang bermutu. Ini juga bentuk variasi dari aneka tugas yang diberikan oleh para guru di setiap sekolah. Harapannya, dahaga anak-anak akan pendidikan yang bermutu dengan sajian menarik sedikit terobati.
Sebagai seorang pendidik, saya sangat berterima kasih kepada pihak Kemdikbud atas luncurnya program inspiratif ini. Ini adalah bentuk kreativitas positif yang sangat diperlukan di tengah badai Covid 19.
Saya mengapresiasi program indah ini. Saya duga juga ada banyak orang tua, pendidik, pihak sekolah dan anak-anak yang menyambut program ini dengan gembira.
Tak Semua Anak Menikmatinya
Akan tetapi, sayang sekali, program “Belajar dari Rumah” ini hanya dinikmati oleh anak-anak sekolah yang rumah atau desanya sudah berlistrik (PLN) dan orang tua atau tetangganya mempunyai Televisi.
Atau juga dinikmati oleh anak-anak yang memiliki HP Android dan tinggal di tempat yang sinyal HP-Internet lancar sehingga bisa nonton TVRI Online. Itu pun kalau mereka mampu membeli pulsa atau paket data.
Atas dasar situasi ini, banyak anak sekolah di NTT (PAUD – SMA/SMK) pasti tidak bisa menikmati program terobosan “Serunya Belajar dari Rumah” yang disiarkan oleh TVRI itu. Sayang sekali.
Bagi saya, satu hal penting yang bisa dipelajari dari program “Belajar dari Rumah” ini adalah betapa lebarnya kesenjangan pada sektor pendidikan di negeri ini. Covid 19 memperjelas kesenjangan ini!
Saya kemudian berpikir, barangkali pihak Kemdikbud menduga bahwa sebagian besar atau bahkan semua peserta didik di Indonesia tinggal di daerah berlistrik dan memiliki sinyal HP-Internet.
Barangkali juga mereka hanya melihat pulau Jawa dan beberapa kota besar di Indonesia. Atau barangkali program “Belajar dari Rumah” ini hanya untuk anak-anak sekolah di daerah tertentu di Indonesia, bukan untuk seluruh anak sekolah dari Sabang sampai Merauke! Barangkali ya…
Sudahlah. Saya juga sadar, tak elok terus meratapi ketertinggalan NTT dalam banyak bidang kehidupan, termasuk pendidikan, apalagi di tengah badai Covid 19 ini. Memang saya akui, sejak Jokowi memimpin negeri ini dan melalui semboyannya, “Membangun dari pinggir”, ia telah melakukan banyak perubahan positif untuk wilayah-wilayah di luar Jawa, termasuk NTT. Saya bangga dengan sepak terjangnya itu.
Saya hanya berharap, Presiden Jokowi melalui Kemdikbud mengikis pelan-pelan kesenjangan dalam bidang pendidikan ini. Kalau kesenjangan ini mulai teratasi dengan baik, yang merasakan aneka program penting dalam sektor pendidikan, secara khusus yang ditayangkan melalui media TV atau internet, tak hanya anak-anak sekolah di kota atau daerah tertentu, tetapi juga oleh seluruh anak sekolah di Indonesia, termasuk di NTT. Dengan demikian, harapannya, mutu pendidikan di NTT semakin meningkat dan tak berbeda jauh dengan mutu pendidikan di Jawa.
Saat ini saya hanya berharap agar anak-anak sekolah di NTT, masih sehat dan tak lupa mengerjakan tugas-tugas yang telah diberikan oleh para guru dengan baik. Semoga mereka juga melakukan banyak aktivitas positif lain di rumah bersama keluarga.
Selain berharap dan berdoa agar Covid 19 segera teratasi dengan baik sehingga anak-anak bisa kembali ke sekolah, saya juga berharap agar anak-anak mengalami betapa indah dan serunya belajar di rumah sambil menikmati kebersamaan dengan keluarga, walaupun mereka tak menyaksikan program indah Kemdikbud di masa Covid 19, serunya “Belajar dari Rumah.”***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H