Mohon tunggu...
Yosef Lorensius S
Yosef Lorensius S Mohon Tunggu... -

seorang anggota grup "OEMAR BAKRIE" yang hidup di era milenium. Setia mendampingi generasi muda untuk menjadi pribadi yang utuh. bagiku, pendidikan adalah nyawa pribadi dan nyawa bangsa. HIDUP GURU...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Pendidikan dari Sudut Sempit

9 Agustus 2016   15:47 Diperbarui: 9 Agustus 2016   16:09 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya tidak begitu peduli menghitung,sudah berapa lama Bapak Mendikbud yang baru ini menjabat. Saya awalnya hanya sangat senang kala Anies Baswedan diganti. Sayaberpikir Anies membuat “kegaduhan” dalam dunia pendidikan dengan lebih sering melempar isu lalu belakangan membuat regulasi.Pengalaman di lapangan, hal ini lebih menimbulkan kebingungan. 

Saya pikir, Anies tidak termasuk menteri yang membuat gaduh. Belakangan saya gali, bahwa pelengseran beliau lebih karena tidak fokus mengurus Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang merupakan program unggulan Presiden. Anies bekerja dengan konsepnya sendiri, namun presiden ingin yang dijalankan “tangan kanannya”adalah visi dan misinya. 

Lalu, Anies pun pergi.

Beberapa dari kita masih meratapi kepergian Anies. Di tengah suasana gundah gulana ini, muncul petir yang menyambar. Bagaimana tidak, biasanya ganti menteri kemudian yang diganti adalah kurikulum. Sempat simpang siur berita soal Mendikbudbaru, Bpk Muhadjir Effendi yang mengisukan soal sekolah seharian penuh.

Sekolah Seharian (Seharian di Sekolah)

Sekolah seharian, begitulah kira-kirasaya menerjemahkan “Full Day School”. Hanya supaya tidak terjebakdalam keinggris-inggrisan. Bagaimana tidak seharian, rencananyasekolah dimulai dari 06.30 – 17.00. Saya tidak mau membantu Andamenghitung berapa lama siswa-siswi, anak-anak, bahkan guru-guru kitaberada di sekolah. Mari menghitung! Jangan lupa, imajinasikan ituberlaku untuk anak SD? SMP? Atau SMA? 

Saya kutip saja pernyataan Beliau, supaya saya tidak terjebak dalam gagasan tanpa dasar.

Beliau menggagas bahwa dengan sistemfull day school ini secara perlahan anak didik akan terbangunkarakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tuamereka masih belum pulang dari kerja. Menurut Beliau, kalau anak-anaktetap berada di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugassekolah sampai dijemput orang tuanya setelah pulang kerja. (Sumber)

Penting untuk diluruskan bahwa keputusan ini hanya untuk pendidikan menengah yang dalam konsep saatini hanya menyangkut SD dan SMP. Jika kita menelusuri berbagai berita, ini yang akan kita temukan. Walaupun akan muncul kebingungan jika kita mengenal konsep PAUD, pendidikan dasar (SD), dan pendidikan menengah (SMP dan SMA). Mana yang sebenarnya disasar, tentu masih menjadi polemik sampai regulasinya keluar, atau dengan bahasa Pak Mendikbud menyebutnya payung hukum.

Mari kita kembali kepada konsep sekolah seharian. Pertama, sekolah seharian. Akan menjadi begitu panjang dan melelahkan harus sekolah seharian. Kedua, seharian disekolah. Semua insan yang secara langsung berhubungan dengan sekolah akan berada di sekolah seharian, baik itu guru, siswa, karyawan, dll.

Sekolah seharian dianggap meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Konsep ini membayangkan bahwa sekolah adalah satu-satunya tempat mendapat pengetahuan. Sekolah dianggap oase, tempat yang harus dicari dan dituju untuk mencari atau menemukan pengetahuan. Sekolah adalah sumber pengetahuan. Semakin lama seseorang di sekolah, semakin dia berkualitas. Semakinberkualitas, maka manusia Indonesia semakin baik dan maju di masadepan.

Seharian di sekolah. Tidak melalang buana di jalanan, di hutan, di tempat keramaian, dan lain-lain. Sekolah adalah tempat yang aman untuk menjaga generasi muda menujukehancuran. Sekolah bisa membuat orang tidak liar. Sekolah membuat orang lebih teratur. Lupakan soal kejenuhan berada di sekolah, karena sekolah adalah surga. Seharian di sekolah menjadi sebuah keharusan.

Melihat Pendidikan dari Sudut Sempit

Pernyataan ini kemudian menimbulkan reaksi. Bahkan tidak sedikit yang bereaksi keras. Dengan pertumbungan dan penggunaan media sosial yang kadang menjadi tolok ukur“kegaduhan”pernyataan ini diterima dengan sikap penolakan yang tegas. 

Bagi saya, pernyataan ini adalah bukti bahwa sudah sangat lama, bahkan sampai pada level pemangku kebijakan pendidikan dilihat dari sudut sempit. Pendidikan yang awalnya menciptakan insan yang membuka wawasan selebar-lebarnya dilacurkan oleh cara berpikir yang sempit. Pendidikan yang jangkauannya sangat luas, dilihat dengan sangat sederhana, lebih tepatnya menyederhanakan masalah.

Dari judulnya saja, kita bisa melihat bahwa konsep ini diadopsi dari luar. Tanpa kita disajikan data dan potret keberhasilan konsep ini kita disodorkan isu, bahwa kita akan mengadosi dan memberlakukan hal ini. Tentu sangat sempit untuk melihat bahwa apa yang dilakukan di luar, akan berhasil di sini. 

Alasan konsep FDS ini adalah kondisi urban yang mana banyak pekerja yang bekerja sampai sore, malam,bahkan larut malam. Perlu dicatat bahwa konsep ini menawarkan gagasan bahwa yang menjemput anaknya di sekolah adalah orang tuanya. Jadi, apakah diseragamkan juga bahwa waktu tutup kantor adalah jam 5? Supaya orang tua yang memiliki anak di sekolah bisa menjemput anaknya. Diingat pula bahwa tempat kerja dengan sekolah anaknya hanya berjarak tidak lebih dari 1 km. Atau kalau kantor dan sekolah anaknya jauh,orang tua itu harus pulang lebih cepat? 

Belum lagi, orang tua dan anak-anak mereka yang sekolah sama-sama hanya menyisakan rasa lelah yang amat sangat sampai di rumah. Anda bisa membayangkan betapa anak-anak sudah tidak sempat bermain dengan tetangganya karena lelah bermain dengan teman sekolahnya. Bermain dengan tetangganya hanya hari Sabtu dan Minggu, kalau tidak ada kegiatan ekstra atau orang tuanya tidak mengajak mereka berlibur.

Urusan sekolah serahkan saja semuanya kepada sekolah. Semua PR dikerjakan di sekolah. Oh, maaf sudah tidakada lagi PR, karena tidak ada lagi yang dikerjakan di rumah. Semuanya harus selesai di sekolah. Orang tua makin merasa bahwa urusan sekolah bukan tanggung jawab mereka, karena toh sudah diselesaikan disekolah. 

Semuanya terlihat sempit. Tentu masih banyak yang bisa kita gali. Beberapa agak menggelikan namunmengandung kenyataan. Anak-anak di kampung harus bawa makan darirumah karena sekolah sampai sore padahal mereka harus menempuhperjalanan puluhan kilometer dan bangun jam 5 pagi. Karena toh dikampung tidak ada kantin. Kalau ada kantin, dengan apa merekamembeli. Anak-anak di kampung tidak ada uang saku.

Anak di kota? Jujur saja, bagi anak dikota sekolah itu sangat menjenuhkan. Tinggal di dalam gedung, mendengarkan guru berbicara, mengerjakan banyak project, karena semakin lama siswa di sekolah guru juga harus menyiapkan projek yang banyak. Kalau tidak, dengan apa mereka dimotivasi untuk bisa berlama-lama di sekolah?

Pendidikan di Indonesia sejauh ini masih jauh dari ideal. Tugas pemerintah untuk membuatnya menjadi ideal. Kurikulumnya disusun dengan baik, kualitas guru ditingkatkan, kesejahteraan guru diperhatikan, fasilitas pendidikan diprioritaskan, dan masih banyak lagi. Baiklah Bapak Mendikbud fokus untuk mencari solusi atas masalah-masalah ini, bukan memicu polemik baru. Bagaimana Bapak siap bekerja kalau baru mulai saja sudah muncul kegaduhan? Saya yakin saat ini Bapak sedang siap-siap dipanggil Presiden. Kalau benar ide ini didukung oleh Presiden dan Wapres, saya yakin di kemudian hari Bapak yang akan dikorbankan dalam kegaduhan ini. 

Selama bekerja, Pak Menteri. Tidur nyenyakkah Anda? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun