Mohon tunggu...
Phie
Phie Mohon Tunggu... -

hanyalah rumput liar yang tergoda untuk tumbuh, di tanah manapun kuasa angin menerbangkan bibitnya..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mencinta di Titik Nadir

6 Juni 2011   03:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:49 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bahkan, tidak sekejappun dirimu melihatku. Kau palingkan wajahmu begitu saja, seakan tidak ada diriku disana. Kau bergegas pergi dan meninggalkan luka dalam hatiku, ruang kosong yang dingin. Dingin, perih, tajam.. semua perasaan itu menusuk hatiku dan membuatku mual, tak terperikan.. serasa menelan timah di mulutku.. getir.

Ah, ingin sekali kupanggil namamu, kuteriakkan namamu. Agar kau tahu keberadaanku. Biarlah semua orang tahu tentang perasaanku padamu. Ingin rasanya kutakpedulikan itu semua. Selama engkau melihatku, gunjingan dunia tak lagi kuperdulikan.

Akan tetapi disinilah aku berada. Berdiri dan tetap terdiam. Menatapmu dengan penuh kerinduan, tanpa mampu bibirku berucap namamu.

Perasaan cinta itu telah tumbuh perlahan dihatiku. Sejak pertama aku melihatnya. Bagaikan tunas liar tumbuh ditanah gersang. Tanpa diminta. Tumbuh begitu saja. Tanpa mampu kuberkelit darinya, ia menyergapku dengan tiba-tiba. Perasaan itu, secara perlahan, membuncah didadaku, menyeruak ke seluruh nadiku, dan menguasaiku nalarku.. terasa hangat, lembut, hingga mampu kurasakan perasaan itu mengalir manis dan kental di bibirku. Ah, saat itu aku melihatnya terdiam.. berasyik masyuk dengan dunianya. Sekilas terlihat gurat gurat pemikiran tampak di wajahnya, halus, tersamarkan oleh dingin tatapan matanya. Apa yang berada dalam pikirkannya? Bagaikan terseret arus rasa ingin tahu, kuterhanyut dalam pusaran keingintahuan untuk menjelajahi labirin pemikirannya. Menyelami kisah hidup yang tak pernah terucap dari bibirnya.

Ah.. kuhanya mampu berdiri dan tetap terdiam. Menahan semua perasaan yang bergejolak dalam hati. Manis dan getir. Hangat, terlalu hangat, hingga nyaris membakar seluruh ragaku dan dingin menghujam ulu hati. Hanya tatapanku yang berani mengikuti langkahnya.

Perasaan apakah ini? Cinta? sekejap aku merasakan manisnya madu.. dan sekejap pula kurasakan getirnya timah? Disanalah ia berdiri, tanpa melihat keberadaanku. Tanpa menyadari kerinduanku yang membuncah terhadapnya. Tatapannya memandang jauh, selaksa menembus batas cakrawala. Berasyik masyuk dengan dunianya.. dan ku hanya mampu menatap sosoknya dari kejauhan, tak kuasa untuk menggapainya. Bibir terkunci, langkahpun terpasung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun