Mohon tunggu...
Juma Darmapoetra
Juma Darmapoetra Mohon Tunggu... lainnya -

"menghormati berarti menghargai, menghargai tak harus mengagumi dan mengagumi tak perlu menjadi." "Mantan" Penulis Freelance di beberapa Media Massa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekerasan dan Degradasi Nilai Pancasila

26 Maret 2013   21:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:10 1647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pancasila yang pertama kali dicetuskan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 menjadi bentuk indah yang mampu merekatkan semangat persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai ideologi negara yang menjadi acuan dan orientasi bangsa seringkali dibayang-bayangi oleh aksi kekerasan yang semakin merajalela di masyarakat kita.

Aksi kekerasan dan anarkisme telah berlangsung secara frontal di berbagai daerah Indonesia, seperti kekerasan Lapas Cebongan, kekerasan Bima, Mesuji Lampung, tawuran pelajar, kekerasan, pembakaran masjid Syi’ah di Madura, pembubaran buku di Jakarta dan Yogyakarta hingga pembatalan konser Lady Gaga membayangi eksistensi pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Kekerasan terlihat seperti sesuatu yang lazim terjadi di masyarakat. Integrasi bangsa bergerak menuju arah negatif yang melahirkan keretakan dan ketegangan dalam hubungan antar komunitas, personal atau kelompok.

Kekerasan atau anarkisme memang cukup menggelisahkan masyarakat. Keragaman bangsa yang niscaya menjadi potensi konflik yang sangat besar. Masyarakat mulai kehilangan nilai-nilai pancasila yang menekankan multikulturalitas, kebhinnekaan dan nilai keadilan. Pancasila hanya menjadi hafalan masyarakat tanpa aplikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat yang beragam, mulai dari desa hingga kota, beda suku, beda budaya, beda agama atau sesama agama bahkan kelompok yang berhaluan “garis keras” mulai dirasuki setan kekerasan yang tidak memberikan rasa aman bagi lingkungannya. Indonesia yang ramah, sopan dan terbuka terhadap sesama dan “luar”, mulai menampilkan keganasan dan watak barbarisme-nya. Indonesia ibarat republik anarkisme, dimana setiap persoalan diselesaikan dengan cara kekerasan. Kekerasan komunal seoalah menjadi sintesa bahwa budaya kekerasan telah tumbuh subur di negara Indonesia.

Melihat kekerasaan dan anarkisme yang semakin merajalela, kita perlu untuk melihat fakta historis berdirinya negara Indonesia serta “kompromi” negara pancasila. Negara Indonesia berdiri diatas darah pejuang. Sejarah Indonesia ditulis dengan darah bangsa Indonesia, darah yang keluar dari bangsa Indonesia sendiri dengan penuh semangat patriotis dan heroik. Perjuangan bangsa yang penuh keringat darah hingga mencapai kemerdekaannya harus dilihat sebagai bentuk kesadaran nasional dan pentingnya bersatu, berbangsa dan bernegara.

Indonesia merdeka dibangun diatas semangat persatuan dan kesatuan seluruh bangsa Indonesia atas semangat kebhinnekaan. Seperi Sisyphus, para pendiri bangsa dituntut mampu mengakomodasi seluruh kepentingan nasional. Sehingga dalam perumusan dasar negara, upaya kompromistik dilakukan demi kesatuan negara Indonesia merdeka.

Pancasila sebagai ideologi negara didasarkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen secara sosial dan keagamaan. Arnold Mononutu mengatakan bahwa pancasila merupakan sebuah sintesis yang memadai bagi kelompok agama yang berbeda. Pancasila menjadi simbol pemersatu berbagai ras, etnis, agama dan suku yang berbeda-beda tanpa ada diskriminasi dan kekerasan atas nama simbol agama atau SARA.

Musuh Bersama

Di tengah aksi massa dan kekerasan yang merajalela, pernyataan Daniel Sparingga tentang pancasila akan menjadi momen reflektif untuk membaca tindak kekerasan di Indonesia dewasa ini. bahwa “orang yang tidak menghormati, tidak menerima keragaman, dan tidak membela demokrasi adalah musuh dari pancasila”. Kenyataannya, Indonesia adalah negara bhinneka dan multikultural.

Multikulturalitas etnis, agama, bangsa, suku dan lainnya merupakan kekuatan perekat yang mampu menumbuhkan integrasi kebangsaan demi tercapainya kesadaran nasional. Akan tetapi, realitas kebhinnekaan bangsa Indonesia harus berhadapan dengan realitas masyarakat yang mulai menunjukkan anti-demokrasi, anti-keragaman dan anti-toleransi. Keadilan, kesantunan, dan perdamaian hilang ditelah arus politik kejam. Bangsa Indonesia seakan telah kehilangan nilai-nilai luhur; nilai kebersamaan, multikulturalisme, saling menghormati, urun rembug, musyarawarah telah hilang sebagai perekat bangsa.

Penting kiranya untuk kembali merekonstruksi kesadaran kita tentang pancasila sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Urgensi pemahaman pancasila sebagai ideologi negara yang mampu menyatukan persepsi dan kekuatan integritas bangsa. Multikulturalitas, toleransi dan menerima kebhinnekaan merupakan fondasi untuk membangun keragaman dan kedaiaman antara elemen masyarakat.

Keluhuran nilai pancasila akan mampu menyatukan keragaman etnik dan budaya masyarakat yang heterogen. Sejarah pancasila merupakan sejarah kompromi demi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara yang merdeka. Kalangan islam melakukan kompromi politik demi terciptanya integritas bangsa. Sejarah penghapusan tujuh kata piagam Jakarta cukup menjadi pelajaran sejarah untuk selalu dikenang, bagaimana founding father mengedepankan kesantunan dan kerendahan berbudaya.

Potret kekerasan, sikap intoleransi dan tidak menerima perbedaan merupakan sikap yang mampu melemahkan integritas bangsa. Nilai-nilai pancasila mulai mengalami degradasi dalam masyarakat. Masyarakat mengalami sensitif emosi tinggi dan konflik yang bisa menimbulkan ketegangan sosial dan budaya. Ironis sekali, ketika sebuah keberagaman justru disikapi dengan emosi dan aksi kekerasan.

Sejarah kebangsaan yang penuh dengan darah seakan ditelan oleh zaman menjadi artefak yang hanya menjadi penghias generasi bangsa. Nilai-nilai pancasila seperti diberangus oleh pusara arogansi dan primordialisme buta yang tidak memiliki kontekstualisasinya di era reformasi. Pancasila tersisih dari sikap dan kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai generasi penerus bangsa, kita tentu tidak mengharapkan falsafah pancasila hanya akan menjadi memori sejarah yang tidak teraplikasi.

Peneguhan pancasila sebagai ideologi negara yang mampu menjadi persatu bangsa, mempererat rasa kebangsaan, mempekuat karakter dan nilai moral pancasila demi tercapainya kebhinnekaan dan multicultural menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar. Demi kesejahteraan dan kesatuan bersama serta demi menjaga nilai dan citra pancasila, segala tindakan yang berlawanan dengan konsep agama dan pancasila harus ditindak, tanpa melihat siapa dan apa kedudukannya. Kekerasan dan sikap intoleran tentu sangat bertentangan dengan konsep Pancasila dan Agama berarti harus ditindak tanpa melihat siapa yang berada dibalik mereka dan bagaimana gerakannya. Tanpa harus melihat memakai jubah, pakaian biasa atau tak berpakaian sekalipun.

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="http://www.pusakaindonesia.org/"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun