Sini ku bisikkan sesuatu di telingamu, ku beri tahu jalan terbaik bagi masalahmu yun, kontemplasi.
Kau mulai menulis di secarik kertas, lalu merobek dan menggulungnya, andai saja ibu melihat kelakuanmu, gulungan-gulungan kertas itu pasti di sumpal ke mulutmu sambil mengomel . Dan aku akan cekikikan melihat telingamu merah dijewer ibumu yang super cerewet itu.
Kau metatut-matut jidad, sendirian duduk di teras rumah , tanpa sudi di ganggu. Tadi Wiwin mengajak menonton Volly di kelurahan juga tak kau gubris, bukankah tim desamu yang lagi tanding.? “Orang yang sukses ternyata mereka yang berjuang di jalan kebajikan” ungkapmu berbisik tak jelas, bagai desisan ular yang gagal menyambar kodok.
Aku tahu niatmu, ingin bermanfaat bagi orang lain kan? “ Untuk berjuang” Ujarmu menyahut. Aku manggut-manggutr.
Sekian lama kau mencoret-coret buku barumu, merobeknya, hingga menyisakan kertas tebal yang kini kau genggam. “Astaga, sudah habis satu buku , bagaimana ini?” Buru-buru kau bergegas ke belakang, membuangnya. Kau tak mengira dengan buku sebesar genggamanmu itu, tak sebait puisi pun tercipta. Di suguhkan untuk ibumu.
“Yuyunnnn!!!! Teriak wanita itu kalap.
Kalau sudah seperti itu, sumpah serapah dan kuping merah saja tak cukup. Tak boleh makan nasi beras buat hari ini, cukup nasi jagung!
“Kamu tahu, ayahmu kemarin naik kelapanya ngos-ngosan? Lelaki paruh baya di ruangan tengah itu hanya duduk terdiam mendengar dirinya disebut-sebut, teriakan istrinya sudah dianggap radio, atau alarm, atau juga dianggap TOA mushola kampung.
Kalau sudah seperti itu, biasanya ayahmu memosisikan dirinya sebagai pahlawan super, yang selalu ada saat monster datang mengacau kota.
Kalau sudah seperti itu, dan seperti biasanya juga, kamu pasti lari ke kamar, menutup pintu keras-keras, melompat ke atas ranjang, lalu memeluk guling, mengoyaknya, memukul-mukulnya. Ah, suaramu kenapa tertahan? Matamu juga berkaca-kaca, air matamu mengembang di retina yun. Hentikan mengelap pipi meronamumu. Lihatlah, kini gulingmu basah. “Ada liurnya juga”. “ Yuyun, jangan minum racun tikus!!!
Aku paham kengininanmu, melanjutkan sekolah kan? Sampai sekarang kau masih ada harapan kan?. Sejak enam tahun lalu, setelah kau lulus dari Sekolah Dasar, keinginan itu masih kau genggam erat-erat kan?. Aku tahu yun.
Kau sudah tak kuat setiap hari harus menyapu, menyuci, belajar menulis, memasak, kadang-kadang juga belanja ke pasar. Sedang kau harus rela memunguti harapanmu yag dulu pernah kau sebar di setiap sudut kampung. Sekolah.
“Lihat saja kakakmu yang kuliah di kota B, apa yang dia dapat? Suara wanita itu nyaring tak bernada setiap kali mengingatkanmu. “Dulu pulang hanya melapor tagihan kampus yang nilainya ibu tak sanggup menyebut, sekarang malah berani bilang kalau pacarnya sudah bunting di kota sana”. Jawabanya setiap kamu mengutarakan cita-citamu. “Dasar anak badung”.
Dulu wanita itu selalu berbangga dengan kakakmu, selalu bercerita tentang keadaan kampus kakakmu di kota B kepada para tetangga dan sanak famili, “selalu di sayang guru di sana jeng” Dosen maksutnya yun. Padahal dia kesana hanya sekali, itupun cuma sehari. Begitulah orang tua kalau sudah sayang anak, semuanya untuk anak, sampai-sampai menghilangkan rasionalitasnya, tidak mau diluruskan, memaksa memercayai anaknya, padahal khawatir dan selalu cemas.
Sekarang wanita itu harus merasakan pahit nasib yang menimpanya, sepahit ludah yang ditelannya saat mendengar laporan anak laki-lakinya itu “Wati hamil mak”.
Kalau sudah seperti itu, kau selalu merasa di hakimi.”Gak usah sekolah, dirumah saja nduk” ayahmu mengalah.
Aku paham, dengan kekecewaanmu Yun.
Makanya Yun, sebelum nasi menjadi bubur, tak salah jika di tambah santan,begitu kata ibumu kepada ayahmu. Bila semua anaknya merantau jauh, siapa yang berjuang di rumah “berjuang yun, berjuang!”. Biarkan kamu menjadi anak yang gurih dirumah, ibumu bisa menikmati puisi-puisimu setiap waktu. Toh, sekolah jauh ujung-ujungnya juga tidak mau kesawah.
Demi kamu, dia mau melakukan semuanya, memetik kelapa, mengupasnya, menggendong ke pasar, berangkat subuh-subuh, kadang sampai tak sarapan, semua itu untuk membeli buku. Agar kau pandai jadi penulis nak. “Iya, bukan ayahmu yang memetik kelapa”.Sstt…aku tahu karena aku selalu mengikuti ibumu.
Dia itu wanita galak, bengis, keterlaluan padamu. Dia melakukannya karena dia juga masih kecewa, dulu dia berharap banyak terhadap anak laki-lakinya itu, sama sepertimu, sederhana , bermanfaat bagi orang lain.
Kalau sudah begitu ibumu juga bingung, siapa yang harus di salahkan. Yang jelas, dia tidak bisa menyalahkan kampus kakakmu kan?
Tapi sekarang, dia masih suka berteriak-teriak kepadamu, bahkan berani meneriaki petugas rumah sakit.
Dokter!!!! Teriak wanita itu kalap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H