Mohon tunggu...
Amin Maulani
Amin Maulani Mohon Tunggu... Stor Manager -

newbie aminmaula.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sumpah Serapah Seorang Ibu

14 Mei 2017   10:31 Diperbarui: 14 Mei 2017   11:25 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau sudah tak kuat setiap hari harus menyapu, menyuci, belajar menulis, memasak, kadang-kadang juga belanja ke pasar. Sedang kau harus rela memunguti harapanmu yag dulu pernah kau sebar di setiap sudut kampung. Sekolah.

 “Lihat saja kakakmu yang kuliah di kota B, apa yang dia dapat? Suara wanita itu nyaring tak bernada  setiap kali mengingatkanmu. “Dulu pulang hanya melapor tagihan kampus yang nilainya ibu tak sanggup menyebut, sekarang malah berani bilang kalau pacarnya sudah bunting di kota sana”. Jawabanya setiap kamu mengutarakan cita-citamu. “Dasar anak badung”.

Dulu wanita itu selalu berbangga dengan kakakmu, selalu bercerita tentang keadaan kampus kakakmu di kota B kepada para tetangga dan sanak famili, “selalu di sayang guru di sana jeng” Dosen maksutnya yun.  Padahal dia kesana hanya sekali, itupun cuma sehari. Begitulah orang tua kalau sudah sayang anak, semuanya untuk anak, sampai-sampai menghilangkan rasionalitasnya, tidak mau diluruskan, memaksa memercayai anaknya, padahal khawatir dan selalu cemas.

Sekarang wanita itu harus merasakan pahit nasib yang menimpanya, sepahit ludah yang ditelannya saat mendengar laporan anak laki-lakinya itu “Wati hamil mak”.

Kalau sudah seperti itu, kau selalu merasa di hakimi.”Gak usah sekolah, dirumah saja nduk” ayahmu mengalah.

Aku paham, dengan kekecewaanmu Yun.

Makanya Yun, sebelum nasi menjadi bubur, tak salah jika di tambah santan,begitu kata ibumu kepada ayahmu. Bila semua anaknya merantau jauh, siapa yang berjuang di rumah “berjuang yun, berjuang!”. Biarkan kamu menjadi anak yang gurih dirumah, ibumu bisa menikmati puisi-puisimu setiap waktu. Toh, sekolah jauh ujung-ujungnya juga tidak mau kesawah.

Demi kamu, dia mau melakukan semuanya, memetik kelapa, mengupasnya, menggendong ke pasar, berangkat subuh-subuh, kadang sampai tak sarapan, semua itu untuk membeli buku.  Agar kau pandai jadi penulis nak. “Iya, bukan ayahmu yang memetik kelapa”.Sstt…aku tahu karena aku selalu mengikuti ibumu.

Dia itu wanita galak, bengis, keterlaluan padamu. Dia melakukannya karena dia juga masih kecewa, dulu dia berharap banyak terhadap anak laki-lakinya itu, sama sepertimu, sederhana , bermanfaat bagi orang lain.

Kalau sudah begitu ibumu juga bingung, siapa yang harus di salahkan. Yang jelas, dia tidak bisa menyalahkan kampus kakakmu kan?

Tapi sekarang, dia masih suka berteriak-teriak kepadamu, bahkan berani meneriaki petugas rumah sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun