Mohon tunggu...
Lona Hutapea
Lona Hutapea Mohon Tunggu... Wiraswasta - Student

Lifelong learner. Memoirist.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wow... 2010 Resep Cetak Rekor MURI!

2 Agustus 2010   02:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:23 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kemarin beberapa media cetak memberitakan tentang acara 'Makan Patita Nasional' di Ambon yang berlangsung hari Minggu, 1 Agustus, sebagai salah satu kegiatan terkait dengan event 'Sail Banda 2010'.  'Sail Banda 2010' sendiri rencananya akan dibuka oleh Presiden SBY tanggal 3 Agustus besok. [caption id="attachment_212926" align="aligncenter" width="500" caption="Menyiapkan 'Makan Patita Nasional' (sumber: detik.com)"][/caption] 'Makan Patita' yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat Maluku adalah acara makan bersama untuk merayakan sesuatu seperti menyambut Tahun Baru atau menandai pembangunan rumah ibadah, baik mesjid maupun gereja, serta menjadi ajang silaturahmi dan mempererat persaudaraan antar warga.  Umumnya acara ini berlangsung di luar ruangan dengan menggelar meja-meja panjang berhias daun-daun kelapa, atau (yang lebih asyik) sambil lesehan di tepi pantai. [caption id="attachment_212930" align="alignleft" width="300" caption="sumber: detik.com"][/caption] Dalam acara 'Makan Patita' disuguhkan berbagai menu khas daerah Maluku, dan sebagai wilayah kepulauan yang lebih dari 90%-nya terdiri dari lautan, berbagai jenis hidangan ikan bisa dipastikan akan tampil mendominasi meja.  Mulai dari ikan asar (cakalang segar yang diasap), kohu-kohu (ikan disuwir-suwir, dicampur toge dan daun kemangi), sampai ikan kuah asam yang rasanya - meminjam istilah Bondan Winarno - mmmmm.... mak nyusss ! 'Dominasi' ikan ini mencapai puncaknya dalam acara 'Makan Patita Nasional' hari Minggu kemarin.  Wakil-wakil setiap desa/kelurahan dari seluruh kabupaten/kotamadya di Provinsi Seribu Pulau ini mengerahkan upaya dan kreativitasnya untuk menciptakan 2010 macam resep masakan berbahan dasar ikan laut.  Wow...  Luar biasa, ya.  2010 bukan jumlah yang sedikit, lho. 1000 masakan di antaranya dihidangkan bagi para undangan yang hadir dalam acara tersebut, di atas meja makan yang membentang sepanjang 300 meter, berawal dari 'Titik Nol' kota Ambon Manise. Kegiatan ini berhasil menciptakan Rekor Nasional sehingga dicatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI), bahkan kabarnya akan diupayakan agar bisa tercatat juga di tingkat internasional (Guiness Book of World Records).

--------------------------------

Dari dulu ikan laut memang selalu mewarnai keseharian penduduk Maluku.  Mungkin sama seperti posisi tempe di kalangan masyarakat Jawa atau lalapan bagi orang Sunda.  Saya sendiri punya beberapa pengalaman pribadi. Waktu kuliah dulu, walaupun bukan di Fakultas Perikanan, topik skripsi saya tetap saja nggak jauh-jauh dari masalah perikanan.  Saat berburu referensi itulah, saya baru 'ngeh' bahwa statistik memang mencatat, konsumsi ikan per kapita di Provinsi Maluku jumlahnya 3 kali lipat dibanding konsumsi rata-rata nasional. Sejak kecil, seingat saya memang si ikan ini tidak pernah absen, selalu hadir di meja makan keluarga kami.  Tiada hari tanpa ikan.  Apalagi almarhum ayah saya memang pecinta ikan.  Menu favoritnya adalah ikan masak kering yang rasanya merupakan kombinasi asam, pedas, mirip Nano Nano, lah. Sementara keluarga ibu saya berasal dari Desa Haria, sebuah desa nelayan di Pulau Saparua yang memperoleh julukan 'Haria anyir' (amis) saking berlimpahnya ikan di sana.  Saya perhatikan, almarhum kakek maupun ibu saya kalau menyantap ikan betul-betul tuntas, bersih, sampai kadang-kadang duri-durinya pun digerogoti.  Kebanyakan orang Maluku memang terbiasa menghabiskan seluruh bagian ikan, termasuk kepalanya.  Ini mungkin dianggap aneh oleh sebagian orang, paling tidak suami saya yang tak pernah menyentuh kepala ikan.  Hehe... Saya pun tak ketinggalan ikut menjadi penggemar berat ikan.  Seringkali ikan yang cuma sekedar digoreng agak kering pun bisa saya gadoin sendiri sampai beberapa ekor.  Entah kenapa, ikan-ikan di tempat kelahiran saya itu rasanya manis dan segar, berbeda dari ikan di Jakarta yang terkadang bikin lidah jadi gatal-gatal.  Mungkin pencemaran di Teluk Jakarta sudah terlalu parah. Ada lagi, waktu kecil dulu saya dan adik-adik sering bermain dengan anak-anak tetangga.  Suatu hari saat hujan deras, kami bermain di tengah hujan sampai basah kuyup, kedinginan dan kelaparan.  Setelah mandi dan berpakaian, kami pun menyerbu meja makan, padahal makanan hari itu belum selesai dimasak.  Yang ada cuma nasi panas dan ikan goreng ditambah kecap, tapi kok rasanya enaaaaak banget.  Mungkin karena dimakan beramai-ramai, pas sedang lapar-laparnya pula, hmmm... nikmatnya masih terbayang sampai sekarang.  He he he... Di bangku SMA, saya bersama beberapa teman pernah diajak melakukan penelitian, lagi-lagi tentang ikan.  Kami ingin mengetahui reaksi ikan-ikan di bawah laut sana terhadap berbagai warna cahaya yang berbeda, apakah ada warna tertentu yang lebih disenangi dibanding warna lainnya.  Caranya adalah dengan membuat filter berupa kain yang dipasang pada lampu petromaks.  Selama beberapa minggu, setiap akhir pekan kami 'mangkal' di Teluk Ambon, begadang di atas perahu karet sambil menyorotkan lampu petromaks yang ditutupi beberapa warna secara bergantian ke dalam laut. Hasilnya ?  Ternyata ikan-ikan itu lebih tertarik pada warna merah.  Saat petromaks diberi filter merah, volume ikan yang berkumpul dan tertangkap sensor paling tinggi.  Sebaliknya, mereka paling 'jual mahal' saat diberi warna biru.  Penelitian ini sebenarnya bertujuan membantu memberi informasi kepada nelayan tradisional yang waktu itu masih mengandalkan alat-alat sederhana untuk meningkatkan hasil tangkapannya.  Tapi terus terang saya tidak tahu apakah hasil penelitian itu memang sungguh bermanfaat bagi para nelayan ?  Atau jangan-jangan sebelum sempat dipraktekkan, ikan-ikan itu sudah keburu berganti selera ?  Hahaha..... Lulus SMA, saya terpaksa hijrah ke Pulau Jawa untuk melanjutkan sekolah.  Rasanya ada yang hilang karena saya hampir tidak pernah bisa menyantap ikan yang segar dan manis rasanya seperti di Ambon, kecuali saat sesekali pulang untuk berlibur. Kerinduan saya itu justru terobati setelah menikah dan mendampingi suami yang sempat ditugaskan di Jepang selama beberapa tahun.  Jepang memang termasuk bangsa pemakan ikan, sama seperti rakyat Maluku.  Mereka juga memiliki banyak sekali variasi masakan, baik yang termashyur di seluruh dunia seperti sushi dan sashimi, maupun yang tidak banyak dikenal seperti ikanago, sejenis makanan dari ikan yang khusus berasal dari perairan Seto Uchi di wilayah barat Jepang. Yang membuat saya sangat senang, ternyata ikan di Jepang rasanya persis seperti di Ambon.  Segar dan manis.  Makanya saya puas-puasin deh makan ikan selama tinggal di sana.  Saya juga jadi berpikir, jangan-jangan ini memang ikan yang diimpor dari kampung halaman saya ya ?  Soalnya data yang saya peroleh waktu menyusun skripsi dulu memang menempatkan Jepang sebagai negara tujuan utama ekspor hasil perikanan Provinsi Maluku.  Eeeh, jauh-jauh ke negeri orang ternyata malah ketemu.... Sekarang saat hidup di Perancis, lain lagi ceritanya.  Jenis-jenis ikannya agak berbeda dan variasinya menurut saya tidak sebanyak di Jepang.  Entahlah, mungkin karena saya belum terlalu banyak mengeksplorasi.  Tapi asyiknya, saya jadi bisa sering-sering menikmati jenis ikan yang biasanya jarang ditemui di Indonesia, atau kalaupun ada harganya mahal, seperti salmon. Tampaknya kegemaran makan ikan ini menurun pada kedua anak saya yang suka sekali makan ikan, terutama salmon.  Kadang-kadang bisa sampai rebutan.  Untung suami saya nggak sampai ketularan juga.  Kalau iya, wah... bisa-bisa ngabisin jatah deh.  He he he..... Sumber : ambon.go.id, detiknews.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun