Mohon tunggu...
Popy Indriana
Popy Indriana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Talkative outside, an introvert inside.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kasih Tak Sampai Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

2 Januari 2014   12:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:14 3435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di penghujung tahun 2013 , mencoba kembali meresensi sebuah Film yang trailernya setiap hari saya tonton di stasiun Sudirman saat menunggu KRL yang membawa saya pulang. Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang diproduksi oleh Soraya Intercine Film, diadaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama . Jika boleh jujur, saya belum pernah membaca dan mendengar kisah cerita ini saat masih di bangku sekolah. Meskipun setiap kali membaca beberapa resensi filmnya selalu disebutkan bahwa Novel yang ditulis oleh Buya Hamka (angkatan pujangga baru Indonesia) ini merupakan bacaan wajib anak- anak sekolah. Novel Buya Hamka ini di ingatan saya tidak sepopuler seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, Sengsara Membawa Nikmat dan Anak Perawan di Sarang Penyamun Awal melihat trailernya, saya berpikir ini kisah tentang seorang teroris yang menenggelamkan kapal Van Der Wijk dengan latar belakang kisah cinta antara sang teroris dan gadis yang di masa lalunya dulu pernah menjalin kasih di kampungnya. Gara-gara saya salah mengartikan potongan berita di surat kabar tentang Gubahan Zainudin yang berjudul "Teroesir" :) Mereview sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel tentu saja saya pasti akan membandingkan dengan pengalaman menonton film lain yang serupa. Dari sekian resensi tentang film ini semuanya memuji tapi saya punya pendapat yang berbeda. Jika bicara soal Visual, pemandangan panoramik, properti yang digunakan untuk menampilkan setting di tahun 1930-an (awal cerita film ini dikisahkan pada tahun 1931 ),saya setuju jika film ini layak diikutkan dalam festival film seperti Cannes bahkan tidak memungkinkan untuk sekelas Oscar. Tapi justru menurut saya cerita ini gagal menyampaikan kedalaman cerita tentang sebuah kasih yang tak sampai. Gagal disini mungkin lebih tepat digambarkan sebagai kehilangan "greget". Durasi film selama tiga jam tidak membuat saya larut dalam duka cinta yang tak bisa bersatu. Membandingkan dengan Siti Nurbaya yang dulu pernah ditayangkan serial bersambungnya di TVRI, Herjunot dan Pevita saya nilai gagal mengimbangi akting Gusti Randa dan Novia Kolopaking di masa itu yang mampu membuat saya ikut merasakan kedukaan tak bisa bersatunya cinta. Padahal Herjunot sudah terlihat sangat total dalam perannya. Akting Pevita menurut saya bahkan terlalu datar. Sepertinya belum pantas mendapatkan peran utama sebagai Hayati. Yang justru terlihat matang aktingnya tentu saja Reza Rahardian. Mimik muka, gesture tubuhnya menguatkan penilaian bahwa dia layak menyabet gelar aktor piala Citra 2013 dan membantu membuat film TKVDW ini jadi tidak terlalu hambar untuk dilewatkan. Kegagalan film ini mungkin ada pada sutradara Sunil Soraya. Ya, sebuah film yang diambil dari adaptasi novel merupakan interpretasi sutradara untuk memvisualkan dengan juga mempertimbangkan durasi. Ketika tahu bahwa cerita ini tentang romansa cinta yang tak sampai justru kepedihannya tidak terasa. Di awal film, lompatan ceritanya cukup cepat, tujuannya tentu saja untuk mempersingkat waktu. Tapi justru lompatan cerita yang cepat itu gagal menggambarkan kekuatan cinta Zainudin dan Hayati yang harus berakhir karena adat istiadat yang ditentukan oleh garis Ibu. Walaupun diwakili dengan adegan sumpah Hayati untuk setia ketika melepas Zainudin yang akan pergi meninggalkan Batipuh menuju Padang Panjang tidak cukup membuat mata saya meneteskan air mata justru saya merasa Herjunot terlihat sangat lebay dan Pevita datar-datar saja :) Diluar "kepedihan" yang gagal saya rasakan, sepertinya film ini sudah cukup sempurna menampilkan gambaran sejarah  dan adat istiadat minangkabau (padang) di jaman kolonialisme Belanda. Yang sedikit mengganggu hanya visualisasi tenggelamnya kapal Van Der Wijk, yang menjadi judul film, justru sangat terlihat animasinya. Dalam skala 1-10, film ini saya berikan nilai 7 :) [caption id="" align="alignleft" width="599" caption="sumber foto: www.liniberita.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun