Pengurangan dua jam ini juga bisa mengancam masa depan karir perempuan jika memilih bekerja di sektor swasta. Perusahaan (terutama PMA) akan pikir-pikir dua kali ketika akan merekrut karyawan perempuan. Dalam sebuah industri swasta, profit itu menjadi tujuan utama karena cashflow perusahaan dan kelangsungan hidup karyawan tergantung hal ini, yang tentunya didukung oleh produktivitas.
Populasi jumlah perempuan di Indonesia itu hampir sama dengan jumlah laki-laki (untuk usia produktif). Dan jumlah perempuan bekerja sekitar 48% untuk angkatan kerja pemula (new entry level). Jumlah ini semakin berkurang untuk level managerial dan C-Level (top Level).
Hasil survei bersama antara femina dan McKinsey & Company tahun 2012 lalu terhadap 500 wanita bekerja (dari level junior manager, eksekutif, hingga CEO) dari seluruh Indonesia mengungkap hanya ada 20% wanita yang berada di level middle management. Jumlah ini makin mengecil pada level direksi, hingga tinggal 6% saja, dan hanya menyisakan 5% di level CEO. (sumber : Women's Leadership Network Femina & BII)
Perempuan seharusnya tidak bisa dipandang sebelah mata, karena perempuan bekerja menjadi salah satu penggerak perekonomian Indonesia apalagi sekarang sudah mampu menjadi bagian dari G20. Jika gara-gara "dua jam" ini membuat angka pekerja perempuan makin turun, seharusnya memang dampak lain harus juga dilihat dengan kacamata yang lebih lebar.
Jadi sebelum gagasan ini benar-benar disetujui, semoga pemerintah dan DPR bisa  pikir-pikir dulu. Mungkin harus menunggu saya dilamar menjadi menteri peranan wanita? :)
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H