Mohon tunggu...
Yusuf Kusuma Eduardus
Yusuf Kusuma Eduardus Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ketua Komisi Komunikasi Sosial Kevikepan Kedu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lava Pijar Merapi, Cerita yang Abadi

29 Desember 2012   03:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:52 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam 15 Maret 2001 pelataran pos pengamatan gunung Merapi Babadan – Kabupaten Magelang dipenuhi pengunjung. Diatas ketinggian 1278 meter dari permukaan laut itu temperatur udara menunjukan sekitar 11 derajat celcius. Dingin makin terasa merasuk ketulang saat waktu menunjukan pukul 01.00 waktu setempat. Dari balik rumah pengamatan, para pengunjung banyak yang menggelar tikar atau koran dan duduk – duduk menghadap kearah gunung. Gelegar suara muntahan lava pijar terdengar sangat dahsyat dengan ritme yang cukup teratur, lima sampai sepuluh menit sekali. Di puncak gunung yang hanya berjarak sekitar 4 kilometer tampak lava pijar mengalir dan masuk ke alur – alur tekstur gunung bagian barat. Bara api merah kekuningan menyala sesekali berbenturan dengan batuan yang telah mengeras, dan pecah bagaikan percikan – percikan kembang api. Luar biasa indahnya di tengah luas langit yang biru bersih dibawah sinar rembulan penuh. Meskipun mengerikan, namun ‘spektakuler !’, komentar kagum para pengunjung.

Nyala lampu kilat ( flash ) dari kamera para pengunjung langsung mengejar kesempatan, yang barangkali tak akan terulang kembali. Suasana alam lalu berubah menjadi seperti ruang diskotik atau panggung pertunjukan dengan kilatan – kilatan lampu ‘ blitz ‘. Begitulah realita umum memang menyepakati, memotret dalam cuaca gelap atau cahaya minim, harus memakai lampu kilat ‘ blitz ‘. Hanya sering juga lalu tidak terpikirkan, lebih – lebih oleh para fotografer pemula, bahwa ; efektifitas jangkauan lampu kilat sesungguhnya sangat terbatas, apalagi diluar ruang atau seluas alam di pelataran Babadan. Memang sulit barangkali, memotret gunung ditengah kegelapan malam dengan kamera saku atau kamera handphone yang serba otomatis. Satu – satunya cara yang diambil oleh para pengunjung pembawa kamera untuk mengabadikan peristiwa ‘ spektakuler ! ‘ tidak bisa lain kecuali dengan menyetel kamera pada penggunaan lampu kilat. Dan ketika film negatif diproses, atau melihat di layar LCD handphone, maka yang terekam sederetan semak belukar hijau dibagian bawah hingga sebatas sekitar tiga meter dari jarak kamera dengan titik merah dibagian atas tanpa bentuk gunung. Gelap !

Untuk merekam bara api cair yang mengalir dari lubang kawah paling tidak dibutuhkan kecepatan lambat. Dari jarak sekitar 4 kilometer tidak akan mungkin merekam percikan – percikan api dimalam hari hanya dengan sekali kecepatan rana 1/60, yang secara umum digunakan sebagai standar kecepatan sinkron lampu kilat, sekalipun dengan bukaan diafragma lebar dan kepekaan film atau setting kamera digital dengan asa tinggi.

Lava pijar yang mengalir ke tempat yang memiliki temperatur rendah dengan volume yang tidak teratur, semakin kebawah pijarnya akan semakin pudar dan hilang menjadi lahar dingin yang tidak lagi menyala. Artinya cahaya yang bisa ditangkap oleh lensa kamera lalu menjadi terbatas, waktunya tidak akan cukup panjang ditangkap dalam kecepatan 1/60 detik.

Menentukan secara pasti nilai pencahayaan untuk memotret lava pijar yang mengalir digelap malam memang sangat sulit. ‘ Light meter ‘ – pengukur cahaya dalam gelap tentu tidak berfungsi lagi. Yang paling mungkin dilakukan adalah dengan membuat perkiraan nilai pencahayaan dari objek sasaran utama berikut elemen – elemennya ;

1.Mempertimbangkan batas maksimal penggunaan f diafragma untuk mendapatkan ruang tajam yang cukup lebar, misalnya f. 1/8 atau 1/ 5,6.

2.Mempertimbangkan berapa nilai rata – rata antara pencahayaan untuk dapat menangkap cahaya bara api dan berapa nilai pencahayaan untuk menangkap cahaya minim kegelapan langit dengan diafragma yang telah ditentukan dalam standar kepekaan media film atau setting asa pada kamera digital ( ASA / DIN ).

3.Dari perkiraan diatas ( point 2 ) paling tidak dapat diperoleh perkiraan berapa lama kecepatan rana harus dibuka ?

Lalu selebihnya tentu akan tergantung kepada kepekaan masing – masing fotografer dalam menyikapi perubahan – perubahan cuaca setiap saat, umpamanya ; kabut atau mendung yang datang tiba – tiba, mengingat kecepatan rana dibuka dengan waktu yang cukup panjang, bisa 15 menit, bahkan sampai 60 menit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun