Mohon tunggu...
Lolong Kador
Lolong Kador Mohon Tunggu... -

Kekayaan sejati dari sebuah Negara tidak terletak pada emas atau SDA, dalam pengetahuannya, kearifan dan tidak akan pernah mengkhianati Rakyat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepentingan Politik Kartel

25 Maret 2014   01:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:32 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu tidak akan menjad soal jika aspirasi rakyat yang dibawa oleh anggota dewan sejalan dengan kepentingan partai politik yang wajib diperjuangkan oleh anggota dewan. Masalahnya, aspirasi rakyat dan kepentingan partai politik terlihat tidak selalu berselara ssatu terhadap yang lain, seperti diindikasikan secara kuat dalam tiga kasus yang terurai di atas (Pansus Century, aktivis parpol sebagai komisioner KPU, dan rencana pembangunan gedung baru DPR).Pada kasus-kasus itu terungkap pula posisi marjinal anggota dewan manakala harus berhadapan dengan kepentingan partai politik terkait dengan isu-isu kebijakan public. Dalam batas pengertian ini, posisi anggot adewan bisa menjadi penting manakala aspirasi yang disuarakan sejalan dan mendukung sikap atau pendirian partai politik atas isu terkait; tetapi sebaliknya, posisi ini menjadi sangat lemah, dan bahkan tidak berarti sama sekali, jika suara yang dibawanya bertolak belakang dengan pendirian partai politik induk.

Satu ilustrasi yang penting untuk dicatat terkait dengan posisi marjinal anggota dewan itu dapat diambil dari  isu “RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).”Posisi Partai Demokrat jelasmenolak penetapan Sultan Kraton Ngayojakartahadiningra tsebagai Gubernur DIY; pada sisi lain, arus besar masyarakat Jogya menuntut penetapan Sultan sebagai Gubernur, sebagai ciri politico-historis dari keistimewaan Yogyakarta. Pertentangan aspirasiona lini secara internal telah menyebabkan sejumlah Pengurus teras cabang Parta iDemokrat Yogyakarta mundur dar ikepengurusan, dans ekaligus keluar dari Partai Demokrat,dan menempatka nanggota DPR dari Partai Demokrat untuk daerah pemilihan (Dapil) Yogyakarta dalam posisi yang canggung. Dua anggota dewan itu adalah Roy Suryo danAgus Sebastian. Keduanya tetap bertahan di Partai Demokrat, dan karena itu, tetap sebagai anggota DPR namun dengan menyatakan “akan berjuang untuk DIY sesuai dengan harapan rakyat.”Tetap menjadi pertanyaan, apa yang bisa dilakukan dua anggota dewan ini jika harapan rakyat bertolakbelakang dengan pendirian kebijakanPartaiDemokrat.

Terkait hal ini, refleksiPrabuKusumo yang menyatakan: “Kalau yang jadi anggota dewan, tentu harus berpikirl ebih, karena sudah banyak uang dikeluarkan untuk jadi anggota dewan,” dan “bagi yang tetap bertahan pun  ‘dipaksa-paksa’ DPP Demokrat untuk mengikuti kemauan pusat,”memastikan lemahnya peran anggota dewan dalam mengaspirasikan harapan rakyat Yogya berhadap-hadapan dengan (dan untuk mengubah) pendirian kebijakan Partai Demokrat.

Partai-partai politik merumuskan motto atau semangat resminya untuk menggambarkan hubungan yang dekat partai bersangkutan dengan rakyat. Tetapi masyarakat menjadi gamang, atau mempertanyatakan, atas kesungguhan kalau pun tidak mau mengatakan kejujuran dari motto atau semangat setiap kali menyaksikan polah tingkah partai-partai politik itu dalam kancah politik (pemerintahan) nasional maupun daerah: sungguhkah suara rakyat adalah suara partai politik, atau masalah rakyat adalah masalah partai politik, atau juga perjuangan rakyat adalah perjuangan partai politik?

Secara kasat mata terlihat perbedaan (intensitas) hubungan partai politik dan rakyat pada masa menjelang dan setelah usai pemilihan umum (Pemilu, baik legislatif maupun presiden). Pada masa menjelang pemilu, hubungan antara Partai Politik ( langsung maupun melalui kader-kadernya sebagai calon legislative, dan calon pasangan kepala dan wakil kepala pemerintahan nasional, provinsi dan kabupaten / kota ) dan rakyat terkesan sangat dekat karena dibuka dan tersedianya ruang, waktu dan jembatan untuk menghubungkan kedua entitas itu. Bahkan, seolah-olah salah jika pada masa ini semua itu tidak tersedia. Ruang untuk berkomunikasi, berdialog dan saling menghibur ada di berbagai tempat dari yang mewah di berbagai kota hingga yang kumuh dan jauh di pelosok daerah, dan waktu pun tersedia dari dini hari hingga larut malam.

Demikian juga, media untuk menyampaikan dan menerima pesan dari parpol untuk rakyat, dan sebaliknya dari rakyat untuk parpol tersebar di banyak tempat. Media massa, cetak maupun elektronik, pun saling bersaing menyediakan ruang untuk interaksi ini. Seolah-olah kepentingan yang selaras telah mempertemukan parpol ( dan para kandidatnya) dan rakyat.Namunusaipemilu, hubungan yang begituintensdandinamisterputus.Sarana-sarana yang tersedia begitu berlimpah lenyap tanpa bekas; dan sepertinya tidak ada lagi kepentingan yang mempertemukan mereka.Menjadi suatu ironi, justru ketika parlemen telah terisi dengan wakil-wakil rakyat (terbentuk), hubungan antara parlemen dan rakyat yang seharusnya dimulai secara substantive kurang atau bahkan tidak berjalan efektif.

Pasca pemilu kepentingan partai-partai politik yang menjadi induk dari wakil-wakil rakyat di parlemen nampak bergeser dari merajuk untuk memperoleh dukungan rakyat yang sebesar-besarnya menjadi meraup kekuasaan sebesar-besarnya, dan atau saling menyelamatkan dan/atau mengunci kuasa satu terhadap yang lain agar tidak kehilangan kekuasaan yang telah diraupnya. Pergeseran kepentingan ini telah menghasilkan apa yang disebut Syamsuddin Haris sebagai  ”kebobrokan sistemik proses politik” yang “pada dasarnya berpusat pada kecenderungan para elit politik dan penyelenggara negara untuk saling menyelematkan kepentingan politik busuk mereka masing-masing.”Dengan kata lain, partai-partai politik, melalui para elitnya, pada pasca pemilu cenderung menjadi pragmatis dan oportunis demi kepentingan untuk ber”kuasa” dengan secara kasat mata meninggalkan komitmen ideologis atau programatis mereka yang ditebarkan secara manis kepada masyarakat pada masa (menjelang dan selama) pemilu.

Melalui studinya yang mendalam, Kuskridho Ambardi, menggambarkan proses ini sebagai “kartelisasi” sistem kepartaian Indonesia, yakni: “…situasi di manapartai-partai politik secara kolektif mengabaikan komitmen ideologis atau programatis mereka demi kelangsungan hidup mereka sebagai sebagai kelompok.”Dalam politik kartel semacam ini, partai-partai politik tidak saling bersaing untuk capaian-capaian program-program (kepentingan) ideologis mereka, melainkan saling bersekutu, atau bahkan bersekongkol, demi mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan materiil sekedar untuk menopang keberlangsungan keberadaan (hidup) mereka. Salah satu kesimpulan dari studi Ambardi menunjukkan: “…persaingan berhenti begitu partai-partai meninggalkan arena Pemilu dan kemudian memasuki arena pemerintahan (pembentukan kabinet) dan legislative. Apa yang kemudian terjadi adalah munculnya koalisi turah dan absennya oposisi. Lebih jauh, partai-partai sebagai satu kelompok menanggalkan program electoral mereka yang berkecendurangan kiri, dan di pemerintahan mereka secara bersama-sama menyusun kebijakan yang berorientasi kanan.”

Dalam keadaan seperti itu, hampir mustahil mengharapkan, apalagi mempercayai, partai-partai politik melalui perwakilannya di DPR bekerja memperjuangkan terpenuhinya aspirasi dan kepentingan rakyat.

Created by :TL,LK

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun