Mohon tunggu...
Geraldo Laurenzo
Geraldo Laurenzo Mohon Tunggu... Administrasi - Cerca Trova

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bertanya Pada Rumput yang Bergoyang

9 Oktober 2018   20:05 Diperbarui: 9 Oktober 2018   20:31 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Setiap kali terjadi bencana Alam manusia dengan pelbagai jenis latar belakang pendidikan dan pengetahuan, pekerjaan/profesi masuk dengan perspektif mereka masing-masing. Bagi yang menggeluti ilmu geologi maupun yang bergelut dengan pekerjaan yang tersinkron dengan ilmu tersebut, memandang pertama-tama bencana alam sebagai fenomena geologis. Gempa, tsunami, likuifaksi, dipandang sebagai siklus bumi yang memang terdiri dari lempengan-lempengan yang secara aktif  bergerak karena dorongan magma yang ada dalam perut bumi, begitu juga proses likuifaksi adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan atau air berat. Bencana-bencana alam lain seperti topan, el nino dan la nina pun demikian. Intinya bagi mereka hal ini merupakn fenomena atau siklus alam.

Selain geologi, teologi bermain peran dalam menanggapi sebab dari bencana alam. Term teologi mungkin terlalu merujuk ke lingkup kristianitas, maka istilah hermeneutika agama agaknya lebih tepat. Para cendekiawan-cendekiawan ilmu agama menafsirkan bencana sebagai teguran atau bahkan "kemarahan"  dari yang Ilahi karena faktor degradasi moral dari manusia yang sebenarnya sudah dinubuatkan dalam Kitab Suci. Dosa-dosa yang manusia perbuat menyebabkan Allah menjadi murka dan memberikan tulah kepada manusia tanpa memandang agama-agama tertentu. Hasilnya bagi mereka yang selamat dalam peristiwa bencana dipandang sebagai bentuk ungkapan syukur sekaligus pembenahan diri atau pertobatan untuk menjadi manusia yang hidup sesuai dengan kehendak Tuhan sedangkan bagi mereka yang menjadi korban jiwa dianggap sebagai cara Tuhan untuk menghukum "mereka yang penuh dosa dan tidak bertobat" dan memberikan suatu kehidupan baru bersama-Nya untuk "mereka yang semasa hidupnya hidup baik dan benar". Maka, hal ini sejalan dengan kutipan lagu dari Ebiet G Ade "mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu  salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau Allah mulai enggan bersahabat dengan kita..." Mengenai hal tersebut tentu kita tidak bisa menilai dan bernalar secara jauh sebab itu menjadi pekerjaan dan kehendak-Nya. Sekali lagi hal ini hanya menjadi bingkai hermeneutis.

Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.... Kutipan terakhir dari lagu ini bukan merupakan hal yang mubazir dibuat. Ini merupakan kiasan yang sarat akan makna yang mendalam. Bagi kita orang timur terlebih khusus Asia  Indonesia, penggunaan kiasan adalah hal yang lazim di temukan seperti Ibu pertiwi, langit menangis dan lain sebagainya. Hal ini tidak terlepas dari istilah Filsafat Timur. Mendengar kata Filsafat kita pasti langsung tertuju kepada pemikiran logis a la Yunani. Namun inilah pembedaannya. Filsafat barat menekankan soal rasionalitas ilmiah; pemisahan dan pembedaan tegas  antara subjek dan objek. Subjektifitas dipandang sebagai sesuatu yang  selalu diusahakan untuk dimengerti alam menjadi sesuatu yang harus ditaklukan dan diteliti secara kognitif guna kepentingan humanisme. Sedangkan di Timur filsafat bukan semata-mata pemikiran rasional ilmiah. Subjek diapndang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam. Maka intimitas kepekaan, pemeliharaan, hormat terhadap alam dan hukum alam, serta membangun dan memelihara keharmonisan dengan alam dan dunia. Hal inilah yang menjadikan kiasan-kiasan manusia dan alam dalam bahasa orang-orang timur. Filsafat bagi orang timur adalah yang dihidupi bukan hanya sekadar pemikiran rasional ilmiah. 

Bertanya pada rumput yang bergoyang adalah ungkapan untuk menegaskan bahwa  kita yang hidup di bumi Indonesia harus mempertanyakan kembali bagaimana harmonisasi kita dengan alam. Ketika alam mulai menunjukan keukuatannya berarti ia menunjukan eksistensinya. Sebagai ciptaan yang sulung ia merupakan ciptaan yang patut dihormati dan dijaga oleh ciptaan yang paling bungsu yakni manusia. Manusia harus berefleksi atas alam ciptaan. Sebab semua yang diciptakan oleh Tuhan baik adanya dan manusia adalah ciptaan yang punya martabat yang tinggi; manusia bukan sekadar sesuatu tetapi seseorang yang mampu untuk mengenal diri, menguasai dan bebas memberikan diri untuk masuk dalam persekutuan dengan orang lain dan alam ciptaan lainnya.

Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun