Kotak Kosong di Kota Pahlawan: Cermin Demokrasi atau Formalitas?
Pilkada Surabaya 2024 menghadirkan dinamika unik di mana pasangan petahana, Eri Cahyadi dan Armuji, kembali mencalonkan diri sebagai calon tunggal melawan kotak kosong. Dengan dukungan lebih dari 83% suara berdasarkan hasil quick count, pasangan ini secara statistik unggul telak. Namun, fakta bahwa kotak kosong memperoleh sekitar 16% suara tidak bisa diabaikan. Hal ini menggambarkan adanya ruang kritik terhadap demokrasi lokal yang perlu ditelaah lebih dalam: apakah ini menunjukkan stabilitas politik atau justru stagnasi demokrasi?
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dominasi Koalisi Gemuk dan Ketidakseimbangan Kompetisi Politik
Surabaya, kota yang dikenal sebagai pusat dinamika politik Jawa Timur, pada Pilkada 2024 justru menunjukkan minimnya kompetisi politik. Pasangan Eri-Armuji mendapatkan dukungan dari hampir semua partai besar, termasuk PDIP, Golkar, PKB, dan Gerindra (Newsmaker, Bisnis.com). Dominasi koalisi gemuk ini menjadi penghalang munculnya calon alternatif yang mampu menawarkan gagasan berbeda.
Titi Anggraini dari Perludem menyebut kondisi ini sebagai salah satu bentuk defisit demokrasi. "Fenomena ini mencerminkan bagaimana ruang politik sering kali dikendalikan oleh elit partai. Akibatnya, demokrasi kehilangan esensinya sebagai wadah kompetisi gagasan dan program kerja," katanya dalam sebuah diskusi nasional pada awal 2024, (Bisnis.com).
Kotak Kosong sebagai Simbol Kritik Publik
Meski pasangan Eri-Armuji menang telak, perolehan 16% suara untuk kotak kosong bukanlah angka yang kecil. Dukungan untuk kotak kosong dapat dilihat sebagai bentuk protes terhadap sistem politik yang dianggap tidak inklusif. Pemilih kotak kosong bukan berarti anti-petahana, melainkan mengekspresikan keinginan akan alternatif pilihan.
Profesor Kevin Evans, pengamat politik Indonesia, menjelaskan bahwa kotak kosong adalah instrumen demokrasi yang sah. "Suara untuk kotak kosong menunjukkan bahwa ada sebagian rakyat yang tidak puas dengan proses yang mereka anggap didikte oleh elit partai. Ini adalah cara mereka menunjukkan kritik tanpa golput," katanya dalam wawancara dengan media lokal.
Minimnya Regenerasi Politik di Surabaya
Regenerasi politik yang lemah menjadi salah satu alasan mengapa Surabaya menghadapi calon tunggal untuk kedua kalinya. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kota sebesar Surabaya seharusnya melahirkan banyak tokoh potensial yang mampu bersaing dengan petahana. Namun, realitas menunjukkan bahwa partai politik masih kurang serius dalam membangun kaderisasi di tingkat lokal.
Firman Noor, peneliti dari BRIN, menyoroti masalah ini sebagai salah satu akar stagnasi politik di daerah. "Partai cenderung pragmatis, hanya mendukung kandidat yang dianggap pasti menang, daripada memberi ruang bagi kader muda untuk bersaing," ujarnya dalam seminar politik regional.
Stabilitas Politik atau Stagnasi Demokrasi?
Banyak pihak menganggap Pilkada dengan calon tunggal sebagai tanda stabilitas politik. Namun, stabilitas tanpa kompetisi dapat menciptakan ilusi demokrasi yang sehat. Tanpa alternatif, masyarakat kehilangan kesempatan untuk membandingkan program kerja dan ide-ide baru yang mungkin lebih relevan.
Sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, berpendapat bahwa demokrasi membutuhkan kompetisi untuk berkembang. "Ketika tidak ada lawan, tidak ada pengawasan yang cukup kuat terhadap petahana. Hal ini berpotensi menciptakan monopoli kekuasaan yang merugikan masyarakat dalam jangka panjang," jelasnya dalam sebuah diskusi di Surabaya
Partisipasi Pemilih yang Rendah
Selain masalah dominasi politik, tingkat partisipasi pemilih yang hanya mencapai sekitar 60% menunjukkan adanya apatisme di kalangan masyarakat Banyak warga yang merasa bahwa memilih atau tidak memilih tidak akan mengubah hasil karena hanya ada satu kandidat. Hal ini menjadi indikator lemahnya keterlibatan publik dalam proses demokrasi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pilkada Surabaya 2024 memberikan pelajaran penting: demokrasi yang sehat membutuhkan lebih dari sekadar partisipasi formal. Kompetisi politik adalah elemen esensial untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.
Bagi Surabaya, tantangan ke depan adalah mendorong partai politik untuk melakukan regenerasi yang lebih baik. Dukungan untuk kotak kosong bukan sekadar angka, tetapi pesan bahwa masyarakat menginginkan pilihan lebih banyak dan lebih baik. Jika ini diabaikan, demokrasi di tingkat lokal berisiko kehilangan maknanya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Referensi
Hasil quick count Pilkada Surabaya 2024, Charta Politika, https://newsmaker.tribunnews.com/2024/11/28/hasil-quick-count-pilkada-surabaya-2024-eri-cahyadi-armuji-unggul-jauh-melawan-kotak-kosongÂ
Newsmaker
Hasil quick count Pilkada Surabaya 2024, Charta Politika, https://www.bisnis.com/read/20241127/638/1819697/hasil-quick-count-pilkada-2024-16-warga-surabaya-pilih-kotak-kosongÂ
Titi Anggraini, "Calon Tunggal dan Tantangan Demokrasi Lokal," Perludem, 2024.
Kevin Evans, "Kotak Kosong dalam Demokrasi," Wawancara, 2024.
Bagong Suyanto, "Sosiologi Politik Lokal," Diskusi, Universitas Airlangga, 2024.
Firman Noor, BRIN, "Regenerasi Politik di Indonesia," Seminar Regional, 2024.
Ditulis Oleh: Fardan Irham Fatarani
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI