Harga beras setiap awal tahun selalu merangkak naik, bertepatan dengan musim tanam. Kenaikan harga beras kemudian disertai dengan perdebatan perlu tidaknya melakukan impor beras? Padahal pemerintah beberapa kali melakukan kesalahan dengan mendatangkan beras impor terlambat, saat musim panen. Beberapa pengamat kemudian menuding bahwa permasalahan beras yang terjadi setiap tahun ini ulah mafia beras? apa benar, terdapat mafia beras?
[caption id="attachment_353462" align="aligncenter" width="400" caption="Harga beras di Jawa Barat (source : Priangan.org)"][/caption]
Berdasarkan beberapa penelitian, pelaku tata niaga beras di sebuah daerah, misalnya Jawa Barat, sangat banyak. di Jawa Barat saja, pedagang besar dapat mencapai 10 orang. Jika dikalikan dengan jumlah provinsi di Indonesia, dapat mencapai ratusan orang. Pelaku perdagangan beras adalah orang-orang dengan modal besar dan dengan pengalaman yang cukup lama. Rata-rata pemain perdagangan beras yang besar adalah pribumi berusia 50 tahun keatas. Berbekal pengalaman yang cukup panjang, para pemain beras dapat memutuskan harga jual dan harga beli dengan informasi yang terbatas.
Berikut adalah jalan cerita penentuan harga beras oleh pedagang beras:
Apabila pasokan beras yang datang mencapai level minimum maka harga dinaikkan. Menaikkan harga jual beras pun tidak bisa sembarangan, para pedagang melakukan 'tes pasar'. Dalam transaksi dengan pembeli, pedagang besar menyebutkan harga jual tertinggi kemudian melihat respon pembeli. Di sini apabila pembeli memperoleh informasi (setiap pelaku memiliki banyak koneksi pedagang) bahwa pasokan beras terbatas, maka pembeli akan menyetujui harga jual yang cukup tinggi tersebut. Apabila sebuah titik harga jual yang tinggi telah diterima oleh pembeli dengan volume yang besar, maka harga tersebut akan cenderung diikuti oleh penjual yang lain (herding behavior). Namun, pedagang memang selalu cenderung mengikuti harga tinggi untuk ambil untung. Informasi yang dimiliki oleh pedagang umumnya cenderung sangat simetris dan efisien, juga dipengaruhi oleh pemberitaan di media massa atas kebijakan pemerintah.
Algoritma Penentuan Harga : Pasokan turun drastis (normalnya 10 ton/hari, kemudian turun menjadi 2 ton/hari) >> Terbatasnya tambahan pasokan ke pasar oleh Bulog >> Tes pasar 'berhasil' >> Harga naik drastis
Variabel yang berpengaruh dalam penentuan harga dari cerita tersebut  adalah : 1. pasokan, 2. informasi, 3. 'will' dari pedagang dalam menentukan harga, dan, 4. tes pasar yang dilakukan pedagang.
Pasokan tentunya adalah variabel utama. Volume rendah maka sesuai hukum permintaan, harga akan meningkat. Pada musim tanam, dimana volume pasokan rendah, tidak dinyana harga beras pasti akan melambung. Oleh karenanya, Bulog sebagai lembaga buffer memiliki peran penting, tetapi sekarang stok Bulog saat ini hanya sekitar 1-3 juta ton (untuk Operasi Pasar dan Raskin), bandingkan dengan konsumsi Indonesia yang sebesar 30-an juta ton. Untuk meningkatkan pasokan, raskin dapat dirapel untuk meningkatkan pasokan dan juga dilakukan Operasi Pasar meski dampaknya kurang signifikan. Cara lain, adalah dengan impor, tetapi implementasi impor seringnya terlambat dilakukan karena birokrasi dan juga dilema surplus produksi nasional. Salah satu solusi yang cukup baik adalah dengan melibatkan petani untuk meningkatkan pasokan selama musim tanam dengan pemanfaatan resi gudang, meski sayangnya perlu penambahan infrastruktur dan perubahan budaya 'mindset' para petani.
Kedua, informasi menjadi aspek yang sangat penting. Pedagang akan mencermati kebijakan pemerintah yang muncul di media massa, seperti rapel raskin, melakukan impor, kondisi stok beras Bulog yang aman/menipis, dll. Apabila pedagang merasa bahwa kebijakan pemerintah dapat berpengaruh signifikan terhadap harga, maka pedagang akan mengurangi sikap spekulatifnya. Sehingga sangat penting bagi pemerintah untuk mengelola pemberitaan yang terjadi di media massa. Yang terjadi saat ini, muncul pemberitaan stok Bulog hanya sebesar 1,4 juta ton, jauh lebih rendah dibandingkan beberapa periode sebelumnya yang mencapai 3 juta ton. Logis, ketika para pedagang kemudian mengambil untung dari kondisi ini, meski kenaikannya sungguh memberatkan konsumen.
Sementara, untuk mengendalikan variabel ke-3 dan 4 tentunya sulit, karena layaknya pedagang pasti mencari untung yang terbesar dalam setiap kesempatan. Memang terdapat perilaku 'herding', dimana pasti dalam sebuah daerah terdapat pedagang yang entah karena dihormati, dituakan, atau bermodal besar sehingga paling mempengaruhi harga dan diikuti oleh pedagang besar yang lain. Tetapi, pada dasarnya, para pedagang bertindak dengan mempertimbangkan aspek 'pasokan' dan 'informasi'. Oleh karenanya, yang dapat diperbaiki adalah komunikasi yang baik antara pemerintah dengan pedagang. Pemerintah harus memberikan informasi yang positif dan simetris terkait posisi stok beras Bulog, rencana impor, dan perkiraan waktu panen pertama petani sehingga mencegah pedagang berspekulasi.
Mudahnya 2 variabel, yakni pasokan dan informasi harus dikendalikan oleh pemerintah. Karena pemerintah berhadapan dengan pedagang beras yang memiliki kekuatan besar. Para pedagang ini bukan segelintir orang, tetapi ratusan orang dengan modal besar. Mafia beras bukan sekelompok orang, tetapi sebuah perilaku sistematis ambil untung para pedagang beras yang menguasai informasi. Pasokan saat ini tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah, sehingga modal pemerintah menjaga harga saat ini hanyalah komunikasi atas informasi positif . Â Secara jangka panjang, peningkatan pasokan dengan revitalisasi Bulog dan pemberdayaan petani adalah keniscayaan dalam memperbaiki tata niaga beras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H