Sejak tadi aku tidak bisa berhenti tersenyum, melihat gadis kecilku bermain dengan girangnya di halaman depan rumah yang luas, tidak di tumbuhi rumput jepang. Hanya tanah berwarna coklat berukuran persegi. Lalu ada sebuah pohon rambutan besar berdaun lebat . Tapi, tidak berbuah sebab belum musimnya berbuah. Tumbuh subur di depan  halaman rumahku. Pohon rambutan ini sebagai pelindung gadis kecilku bermain di bawah dahannya yang rindang. Di dahan pohon rambutan tersebut.  Ada sebuah ayunan yang di buatkan oleh suamiku tercinta. Katanya, ayunan ini akan menjadi tempat bermain gadis kecil kami.
      "Mama.. dolong."
      Gemasnya.. aku mendengar suara imut gadis kecilku yang belum lancar mengucapkan huruf R. Aku bangkit dari lesehanku di teras. Menyisihkan barang-barang sulamanku yang sejak tadinya, aku sedang membuatkan syal untuk gadis kecilku. Namun, sulamanku terhenti ketika aku menatap gadis kecilku yang dengan girangnya bermain di bawah pohon rambutan dengan suara tawa nyaringnya.
      "Mau main ayunan?" tanyaku pada gadis kecilku dan gadis kecilku mengangguk patuh. Aku semakin gemas dan tak kuasa menahan diri mencium pipi tembennya. Gadis kecilku sangat kuat makan. Itu sebabnya, badannya sedikit gemuk dan mengemaskan.
      "Bukan di cium tapi di dolong."
      Gadisku kecilku, ngambek kepadaku. Dia melap pipinya bekas ciumanku tadi. Gadis kecilku paling tidak suka jika permintaannya di abaikan. Sekarang lihatlah, pipinya yang sudah temben makin temben karna kesal kepadaku. Lantas, aku pun segera mendorong ayunan dengan pelan. Lalu, kulihat wajah gadis kecilku mulai ceria.
      "Mama.. selu."
      Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Terus mendorong ayunan dengan pelan. Cuaca sore hari ini, sangat mendukung. Angin berhembus dengan lembutnya. Rambutku jadi menari-nari di buatnya. Mataku mulai tersayup-sayup merasakan sentuhan angin di kulitku. Di tambah, nyanyian merdu burung geraja yang hinggap di atas dahan pohon rambutan. Mataku melirik gadis kecilku yang sudah tertidur di dalam ayunan. Pantas saja, aku tidak mendengar suara tawanya lagi. Rupanya dia tertidur karna terhipnotis oleh angin sepai-sepoi. Lalu, aku mengelus pipinya yang temben. Ku tertawa kecil mendengar suara dengkurannya yang sangat merdu aku dengar. Lebih merdu dari suara burung berkicau di atas pohon rambutan.
      Gadis kecilku yang amat aku cintai lebih dari diriku sendiri. Aku sangat menyayanginya. Sejak dia lahir ke bumi ini dengan banyaknya rintangan aku hadapin untuk mempertahankan gadis kecilku. Aku teringat kembali bagaimana sulitnya mempertahankan gadis kecilku saat itu.
      Waktu itu, di malam kelahirannya. Aku sedang berjuang keras mengeluarkan suara keras, guna mendorong bayiku keluar dari rahimku dan sudah saatnya bayiku merasakan dunia fana ini. Aku di bantu oleh satu bidan dan beberapa ibu-ibu di desaku. Mereka memintaku terus mengendan suaraku, menyemangatiku. Keringat telah bercucuran di pipihku bahkan bajuku terasa basah. Aku mencengkram kuat sisi penyangah tempat tidurku. Nafasku seperti tidak kuat lagi mengendan bayiku keluar dari dalam rahimku. Bayiku seperti enggan untuk muncul di bumi fana ini. Aku menarik nafas kembali seperti aba-aba dari bidan sebelum aku benar-benar berhasil mengeluarkan bayiku. Namun, di saat itu, di saat aku sudah siap mengendan suaraku. Tiba-tiba saja, tiang penyangah tempat tidurku bergerak. Bukan cuma itu yang bergerak, lemari pakaianku juga bergerak, lampu bergerak hingga cermin tempatku berkaca jatuh ke lantai dan berserakahkan. Bidan dan ibu-ibu desa yang ada di dalam kamarku ketakutan dan berhamburan keluar dari kamarku. Mereka pergi menyelamatkan dirinya tanpa mengingat aku yang masih terbaring di tempat tidur dengan kondisi perut yang masih sakit.
      Kamarku semakin terguncang oleh tarian bumi yang sepertinya tak suka jika malam ini, aku melahirkan bayiku. Aku berusaha sekuat tenaga bangkit dari tempat tidurku. Ku pegang erat perutku agar tidak terkena hantaman benda-benda jatuh dari langit-langit kamarku. Aku melihat ke arah pintu. Jaraknya jauh dari sisi tempat tidurku. Aku tidak punya tenaga untuk berjalan lagi. Tapi, aku tidak mau mati di sini bersama bayiku yang belum lahir. Aku teringat akan suamiku. Dimana dia? Kenapa dia tidak mencariku? Lampu terjatuh, aku semakin ketakutan. Segera aku merangkak ke bawah tempat tidurku. Aku berlindung dari runtuhan benda-benda yang akan mencelakaiku. Di dalam hatiku, aku terus berdoa kepada Tuhan untuk menyelamatkan bayiku. Aku tidak masalah jika nyawaku harus pergi. Asalkan bayiku yang sudah lama kami nantikan selamat ke bumi ini.