Mohon tunggu...
Lola silaban
Lola silaban Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Baru lulus kuliah dari Universitas Negeri Medan Lulusan Sarjana Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Kecilku

30 Mei 2019   20:18 Diperbarui: 30 Mei 2019   20:34 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak tadi aku tidak bisa berhenti tersenyum, melihat gadis kecilku bermain dengan girangnya di halaman depan rumah yang luas, tidak di tumbuhi rumput jepang. Hanya tanah berwarna coklat berukuran persegi. Lalu ada sebuah pohon rambutan besar berdaun lebat . Tapi, tidak berbuah sebab belum musimnya berbuah. Tumbuh subur di depan  halaman rumahku. Pohon rambutan ini sebagai pelindung gadis kecilku bermain di bawah dahannya yang rindang. Di dahan pohon rambutan tersebut.  Ada sebuah ayunan yang di buatkan oleh suamiku tercinta. Katanya, ayunan ini akan menjadi tempat bermain gadis kecil kami.

            "Mama.. dolong."

            Gemasnya.. aku mendengar suara imut gadis kecilku yang belum lancar mengucapkan huruf R. Aku bangkit dari lesehanku di teras. Menyisihkan barang-barang sulamanku yang sejak tadinya, aku sedang membuatkan syal untuk gadis kecilku. Namun, sulamanku terhenti ketika aku menatap gadis kecilku yang dengan girangnya bermain di bawah pohon rambutan dengan suara tawa nyaringnya.

            "Mau main ayunan?" tanyaku pada gadis kecilku dan gadis kecilku mengangguk patuh. Aku semakin gemas dan tak kuasa menahan diri mencium pipi tembennya. Gadis kecilku sangat kuat makan. Itu sebabnya, badannya sedikit gemuk dan mengemaskan.

            "Bukan di cium tapi di dolong."

            Gadisku kecilku, ngambek kepadaku. Dia melap pipinya bekas ciumanku tadi. Gadis kecilku paling tidak suka jika permintaannya di abaikan. Sekarang lihatlah, pipinya yang sudah temben makin temben karna kesal kepadaku. Lantas, aku pun segera mendorong ayunan dengan pelan. Lalu, kulihat wajah gadis kecilku mulai ceria.

            "Mama.. selu."

            Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Terus mendorong ayunan dengan pelan. Cuaca sore hari ini, sangat mendukung. Angin berhembus dengan lembutnya. Rambutku jadi menari-nari di buatnya. Mataku mulai tersayup-sayup merasakan sentuhan angin di kulitku. Di tambah, nyanyian merdu burung geraja yang hinggap di atas dahan pohon rambutan. Mataku melirik gadis kecilku yang sudah tertidur di dalam ayunan. Pantas saja, aku tidak mendengar suara tawanya lagi. Rupanya dia tertidur karna terhipnotis oleh angin sepai-sepoi. Lalu, aku mengelus pipinya yang temben. Ku tertawa kecil mendengar suara dengkurannya yang sangat merdu aku dengar. Lebih merdu dari suara burung berkicau di atas pohon rambutan.

            Gadis kecilku yang amat aku cintai lebih dari diriku sendiri. Aku sangat menyayanginya. Sejak dia lahir ke bumi ini dengan banyaknya rintangan aku hadapin untuk mempertahankan gadis kecilku. Aku teringat kembali bagaimana sulitnya mempertahankan gadis kecilku saat itu.

            Waktu itu, di malam kelahirannya. Aku sedang berjuang keras mengeluarkan suara keras, guna mendorong bayiku keluar dari rahimku dan sudah saatnya bayiku merasakan dunia fana ini. Aku di bantu oleh satu bidan dan beberapa ibu-ibu di desaku. Mereka memintaku terus mengendan suaraku, menyemangatiku. Keringat telah bercucuran di pipihku bahkan bajuku terasa basah. Aku mencengkram kuat sisi penyangah tempat tidurku. Nafasku seperti tidak kuat lagi mengendan bayiku keluar dari dalam rahimku. Bayiku seperti enggan untuk muncul di bumi fana ini. Aku menarik nafas kembali seperti aba-aba dari bidan sebelum aku benar-benar berhasil mengeluarkan bayiku. Namun, di saat itu, di saat aku sudah siap mengendan suaraku. Tiba-tiba saja, tiang penyangah tempat tidurku bergerak. Bukan cuma itu yang bergerak, lemari pakaianku juga bergerak, lampu bergerak hingga cermin tempatku berkaca jatuh ke lantai dan berserakahkan. Bidan dan ibu-ibu desa yang ada di dalam kamarku ketakutan dan berhamburan keluar dari kamarku. Mereka pergi menyelamatkan dirinya tanpa mengingat aku yang masih terbaring di tempat tidur dengan kondisi perut yang masih sakit.

            Kamarku semakin terguncang oleh tarian bumi yang sepertinya tak suka jika malam ini, aku melahirkan bayiku. Aku berusaha sekuat tenaga bangkit dari tempat tidurku. Ku pegang erat perutku agar tidak terkena hantaman benda-benda jatuh dari langit-langit kamarku. Aku melihat ke arah pintu. Jaraknya jauh dari sisi tempat tidurku. Aku tidak punya tenaga untuk berjalan lagi. Tapi, aku tidak mau mati di sini bersama bayiku yang belum lahir. Aku teringat akan suamiku. Dimana dia? Kenapa dia tidak mencariku? Lampu terjatuh, aku semakin ketakutan. Segera aku merangkak ke bawah tempat tidurku. Aku berlindung dari runtuhan benda-benda yang akan mencelakaiku. Di dalam hatiku, aku terus berdoa kepada Tuhan untuk menyelamatkan bayiku. Aku tidak masalah jika nyawaku harus pergi. Asalkan bayiku yang sudah lama kami nantikan selamat ke bumi ini.

            Kemudian sesaat aku mengatakan itu di dalam hatiku, aku mendengar suara suamiku memanggilku dengan suara lantangnya. Aku bersyukur kepada Tuhan dan segera aku menyahut panggilan suamiku. Suamiku datang kepadaku dengan membawa lilin di tangannya, menerangi jalannya menuju kamar dan menemukan aku bersembunyi di bawah tempat tidur. Suamiku menangis melihat aku, dia mencium wajahku berkali-kali, suamiku dengan kekuatan samsonnya dapat membalikkan tempat tidur kami. Lalu, dia memelukku dan dia sangat senang melihat aku masih selamat. Kemudian, suamiku memintaku memegang lilin, dia mengendongku dan cepat membawa aku pergi dari dalam kamar di tengah bumi masih bergetar kencang. Enggan untuk berhenti sebentar saja. Bumi tidak ada rasa kasihan melihat aku dan suamiku berjuang keluar dari rumah kami ini.

            Tapi, kami berdua tidak berhenti berharap dan berjuang menghadang getaran bumi yang kuat itu. Suamiku berhasil melewati semua rintangan yang menghalangi jalan kami. Hingga kami berhasil keluar dari rumah kami. Lalu, segeralah orang-orang yang melihat kami berdua menolong suamiku. Mereka membantu suamiku membawa aku ke tempat aman. Kami semua warga desa berlindung ke tanah lapangan yang luas, bebas dari pohon-pohon besar dan tiang-tiang listrik. Untungnya, desaku jauh dari air laut. Hingga tidak ada rasa takut jika bencana tsunami datang.

            Saat itu, getaran bumi mulai pelan dan di saat itu, setiba aku berada di tanah lapangan. Aku mulai merasakan perutku sakit sekali. Aku tidak kuasa menahan rasa sakit ini. Lebih sakit sebelumnya aku mengendan suaraku. Suamiku sangat ketakutan melihat aku yang kesakitan, wajahnya pucat seperti mayat dan dia kebingungan menolongku. Lalu, kemudian beberapa ibu-ibu datang menghampiriku, mengelilingiku hingga aku tidak dapat melihat wajah suamiku. Ibu-ibu desa ada memegang tanganku, ada yang menjadikan tubuhnya sebagai sandaranku, ada juga yang berada di ujung kakiku yang sudah di tekuk. Ibu-ibu terus memintaku mengendan suaraku. Kata mereka, bayiku sudah terlihat. Mendengar itu, sesuai permintaanku kepada Tuhan. Aku mengendan suaraku dengan sekuat-kuatnya hingga menggema di tanah lapangan yang luas ini. Lalu, aku mendengar suara tangis bayiku. Aku lega, lelah dan bersyukur kepada Tuhan. Tuhan menyelamatkan bayiku.

            "Bayimu perempuan." Kata seorang ibu yang mengendong bayiku dengan wajahnya yang senang dapat mengendong bayiku. Aku ingin mengendong bayiku namun belum bisa sebab bayiku belum di bungkus dengan kain. Sebagian para ibu berlarian mencari kain kepada mereka yang ikut berlindung di tanah lapang. Untungnya, ada beberapa orang membawa kain sehingga bayiku dapat di bungkus. Banyak orang mengucapkan selamat kepadaku. Aku bisa selamat dari reruntuhan rumahku di tengah bencana gempa bumi terjadi. Bahkan, aku melahirkan di saat bumi masih bergetar dan Tuhan masih berbaik hati kepadaku. Tuhan tidak mengambil nyawaku sebagaimana doaku, aku ucapkan saat gempa bumi terjadi.

            Lalu, suamiku datang. Dia menghampiriku dengan wajah terharunya dan mencium keningku. Dia tidak kuasa dapat menahan tangisnya. Melihat aku berjuang untuk bayi kami. Kemudian, seorang ibu memberikan bayi kami ke tangan suamiku untuk di gendong. Suamiku menerima bayi kami dengan penuh sukacita. Air matanya semakin menetes menatap wajah mungil bayi perempuan kami. Suamiku datang kepadaku, memberikan bayi kami untuk aku gendong. Aku terima bayiku, kulihat wajah mungilnya yang masih kecil. Aku tak kuasa menahan air mataku lagi. Tumpah begitu saja, mengelus pipinya dan mendengar suara tangisnya yang terdengar merdu di telingaku. Dalam hatiku, aku berkata, semoga kelak bayi perempuanku tumbuh besar menjadi seorang gadis cantik baik hati, berhati lembut, bijak dalam segala hal dan di sukai banyak orang. Dan aku akan melakukan segala apapun demi kebahagiaan bayi perempuan. Anak yang sudah lama aku nantikan bersama suamiku.

            Gadis kecilku hampir terbangun. Sesaat aku berhenti mengoyangkan ayunan. Lalu, aku dorong kembali dengan lembut dan gadis kecilku kembali tidur. Tidurnya aku temanin dengan sebuah lagu pengantar tidur yang selalu aku nyanyikan setiap dia mau tidur. Aku bersandung seraya alam ikut bernyanyi bersamaku.

            Tiba-tiba, penglihatanku gelap. Gelap karna tangan jail menutup kedua mataku. Kudengar suara tawanya senang mendengar aku bertanya siapa yang menutup mataku. Dia tidak mau menjawabku. Justru mendekatkan aku ke tubuhnya. Aku pun bisa menebak siapa tangan jail itu. Dari aroma tubuhnya yang selalu aku cium.

            "Bang.." kataku, dia mengerutu kesal. Aku berhasil menebaknya dalam waktu cepat. Dia melepas kedua tangannya dari mataku. Lalu, duduk jongkok di depanku. Menatap wajah gadis kecil kami berdua yang masih tertidur meski si Papanya iseng menganggu tidur sorenya.

            Suamiku wajahnya cemberut. Gadis kecil tak mau bangun justru malah memilih tertidur kembali setelah melihat Papanya datang dari tempat kerja. Biasanya, gadis kecil akan berjingkrak ke girangan. Jika sudah melihat Papanya pulang ke rumah. Papa yang suka mengendongnya, membawanya terbang ke angkasa dengan meletakkan gadis kecil ke punggungnya. Lantas, aku menceritakan kepada suamiku. Bahwa gadis kecil baru tidur sore. Barulah suamiku mengerti dan tidak jail menganggu tidurnya. Suamiku mencium kening gadis kecil, lalu masuk ke rumah untuk mandi. Tubuhnya pasti lelah bekerja keras mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari kami. Sementara aku masih tetap berada di dekat gadis kecilku. Aku tidak bisa membiarkan dirinya tertidur sendiri di dalam ayunan seorang diri. Aku akan menunggu gadis kecilku sampai bangun.

TAMAT

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun