Mohon tunggu...
LOLA FITRI
LOLA FITRI Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Baca novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rahasia Malam di Bawah Sinar Purnama

17 September 2024   12:59 Diperbarui: 17 September 2024   13:01 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Rahasia Malam di Bawah Sinar Purnama"

Malam itu, bulan purnama menebarkan sinarnya yang lembut ke bumi, menerangi halaman rumah yang sunyi. Suara jangkrik dan hembusan angin menyanyikan lagu malam. Namun, di luar jendela dapur, kegelapan malam dihiasi dengan kepanikan seorang ibu yang sedang menunggu anaknya pulang.

"Kenapa dia belum pulang juga? Sudah lewat tengah malam!" keluh Bunda, matanya penuh kekhawatiran. Ia melirik jam dinding yang berdetak lambat, seolah waktu sengaja menunda kepulangan Adik.

Di luar, sosok Adik tampak melangkah tidak menentu, wajahnya cerah oleh sinar bulan. Tatapan matanya kosong, seolah ada sesuatu yang berat mengikat hatinya. Di sampingnya, Bunga, gadis yang dikenal karena sifatnya yang licik dan manipulatif, tersenyum sinis.

"Jangan khawatir, Adik. Bunda cuma akan marah. Lagipula, mereka semua tidak mengerti kita," kata Bunga, suaranya melengking penuh tipu daya. "Kau sudah membuat keputusan yang benar. Mereka tidak akan mengerti kenapa kita melakukan ini."

Adik, yang tampak ragu, mengangguk perlahan. "Tapi... aku merasa bersalah. Bunda pasti akan marah."

Bunga menepuk bahu Adik dengan lembut, mencoba memberikan rasa nyaman palsu. "Kita cuma ingin bersenang-senang. Mereka tidak akan mengerti itu."

Mereka berdua memasuki rumah, dan Bunda yang sudah lama menunggu langsung berdiri dengan wajah cemas. "Adik!" teriak Bunda, suaranya bergetar penuh emosi. "Kenapa baru pulang sekarang? Kamu sudah membuat kami khawatir!"

Adik menundukkan kepala, bibirnya bergetar. "Maaf, Bunda. Aku... aku hanya bermain di rumah Bunga."

Bunda melebarkan matanya, kebingungannya bercampur dengan kemarahan. "Rumah Bunga? Kamu tahu betapa bahaya berada di luar malam-malam seperti ini? Kamu harusnya pulang lebih awal!"

Bunga, berdiri di belakang Adik, melangkah maju dengan wajah penuh kepalsuan. "Jangan terlalu keras padanya, Bunda. Lagipula, dia hanya ingin bersenang-senang. Tidak ada yang salah dengan itu."

Bunda menatap Bunga dengan tajam. "Ini bukan urusanmu, nak Bunga. Ini tentang anakku!"

Pertengkaran semakin memanas. Suara mereka mulai menarik perhatian dari ruang keluarga. Di tengah-tengah kekacauan itu, Abang Iz, kakak Adik, muncul dengan wajah yang penuh kewaspadaan.

"Kenapa ini terjadi?" tanyanya, matanya menyapu ruang dengan penuh perhatian. "Kenapa kamu pulang larut malam, Adik?"

"Abang Iz," Adik melirik ke arah kakaknya dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Aku hanya mengikuti Bunga. Dia bilang..."

Abang Iz memotong dengan lembut namun tegas, "Bunga tidak seharusnya mempengaruhi keputusanmu. Adik, kamu tahu betul aturan di rumah ini. Kita harus menghormati batasan yang ada untuk keselamatan kita."

Bunga, merasa terancam oleh kehadiran Abang Iz, mencoba membela diri. "Tapi aku hanya..."

Abang Iz, dengan nada yang lebih keras, berkata, "Cukup, Bunga! Kamu sudah cukup banyak berbuat masalah di sini. Sekarang, Adik, dengarkan abang. Kita semua di sini untuk saling melindungi satu sama lain. Jangan biarkan orang luar mempengaruhi keputusanmu."

Bunga, wajahnya merah padam, mencibir dan berbalik pada Adik. "Kau benar-benar mendengarkan dia? Kenapa kau tidak bisa berpikir untuk dirimu sendiri? Semua ini cuma omong kosong!"

Abang Iz menatap Bunga dengan tatapan dingin dan penuh ancaman. "Jika kamu terus ikut campur tangan, aku akan meminta Bunda untuk membicarakan hal ini lebih jauh. Jangan coba-coba bermain api di rumah ini."

Bunga mendengus kesal dan mencoba mengabaikan Abang Iz. "Terserahlah. Aku tidak perlu berada di sini untuk mendengarkan ini."

"Pergi sekarang," tegas Abang Iz, menegaskan ancamannya.

Dengan tatapan marah, Bunga akhirnya mundur dan meninggalkan rumah, menyisakan suasana yang menegangkan di dalam ruangan. Ketika Bunga pergi, suasana rumah perlahan kembali tenang. Abang Iz memeluk Adik dan Bunda, mengingatkan mereka akan kekuatan cinta dan dukungan keluarga.

"Jangan pernah merasa sendirian dalam situasi seperti ini," kata Abang Iz dengan penuh kasih. "Kita selalu ada untuk melindungi satu sama lain."

Bunda, meski masih marah, tampak sedikit lega melihat Abang Iz mengambil alih situasi. "Adikku, mulai sekarang kamu harus belajar untuk membuat keputusan yang baik. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu."

Adik mengangguk, merasa beban di hatinya sedikit berkurang. Bunda dan Abang Iz berpelukan, menguatkan ikatan keluarga mereka.

Malam itu, di bawah bulan purnama yang sama, keluarga itu berkumpul dengan lebih erat, mengingatkan diri mereka bahwa meskipun ada konflik dan kesalahpahaman, kekuatan keluarga akan selalu bisa mengatasi segala rintangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun