Bunda menatap Bunga dengan tajam. "Ini bukan urusanmu, nak Bunga. Ini tentang anakku!"
Pertengkaran semakin memanas. Suara mereka mulai menarik perhatian dari ruang keluarga. Di tengah-tengah kekacauan itu, Abang Iz, kakak Adik, muncul dengan wajah yang penuh kewaspadaan.
"Kenapa ini terjadi?" tanyanya, matanya menyapu ruang dengan penuh perhatian. "Kenapa kamu pulang larut malam, Adik?"
"Abang Iz," Adik melirik ke arah kakaknya dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Aku hanya mengikuti Bunga. Dia bilang..."
Abang Iz memotong dengan lembut namun tegas, "Bunga tidak seharusnya mempengaruhi keputusanmu. Adik, kamu tahu betul aturan di rumah ini. Kita harus menghormati batasan yang ada untuk keselamatan kita."
Bunga, merasa terancam oleh kehadiran Abang Iz, mencoba membela diri. "Tapi aku hanya..."
Abang Iz, dengan nada yang lebih keras, berkata, "Cukup, Bunga! Kamu sudah cukup banyak berbuat masalah di sini. Sekarang, Adik, dengarkan abang. Kita semua di sini untuk saling melindungi satu sama lain. Jangan biarkan orang luar mempengaruhi keputusanmu."
Bunga, wajahnya merah padam, mencibir dan berbalik pada Adik. "Kau benar-benar mendengarkan dia? Kenapa kau tidak bisa berpikir untuk dirimu sendiri? Semua ini cuma omong kosong!"
Abang Iz menatap Bunga dengan tatapan dingin dan penuh ancaman. "Jika kamu terus ikut campur tangan, aku akan meminta Bunda untuk membicarakan hal ini lebih jauh. Jangan coba-coba bermain api di rumah ini."
Bunga mendengus kesal dan mencoba mengabaikan Abang Iz. "Terserahlah. Aku tidak perlu berada di sini untuk mendengarkan ini."
"Pergi sekarang," tegas Abang Iz, menegaskan ancamannya.