"Rahasia Malam di Bawah Sinar Purnama"
Malam itu, bulan purnama menebarkan sinarnya yang lembut ke bumi, menerangi halaman rumah yang sunyi. Suara jangkrik dan hembusan angin menyanyikan lagu malam. Namun, di luar jendela dapur, kegelapan malam dihiasi dengan kepanikan seorang ibu yang sedang menunggu anaknya pulang.
"Kenapa dia belum pulang juga? Sudah lewat tengah malam!" keluh Bunda, matanya penuh kekhawatiran. Ia melirik jam dinding yang berdetak lambat, seolah waktu sengaja menunda kepulangan Adik.
Di luar, sosok Adik tampak melangkah tidak menentu, wajahnya cerah oleh sinar bulan. Tatapan matanya kosong, seolah ada sesuatu yang berat mengikat hatinya. Di sampingnya, Bunga, gadis yang dikenal karena sifatnya yang licik dan manipulatif, tersenyum sinis.
"Jangan khawatir, Adik. Bunda cuma akan marah. Lagipula, mereka semua tidak mengerti kita," kata Bunga, suaranya melengking penuh tipu daya. "Kau sudah membuat keputusan yang benar. Mereka tidak akan mengerti kenapa kita melakukan ini."
Adik, yang tampak ragu, mengangguk perlahan. "Tapi... aku merasa bersalah. Bunda pasti akan marah."
Bunga menepuk bahu Adik dengan lembut, mencoba memberikan rasa nyaman palsu. "Kita cuma ingin bersenang-senang. Mereka tidak akan mengerti itu."
Mereka berdua memasuki rumah, dan Bunda yang sudah lama menunggu langsung berdiri dengan wajah cemas. "Adik!" teriak Bunda, suaranya bergetar penuh emosi. "Kenapa baru pulang sekarang? Kamu sudah membuat kami khawatir!"
Adik menundukkan kepala, bibirnya bergetar. "Maaf, Bunda. Aku... aku hanya bermain di rumah Bunga."
Bunda melebarkan matanya, kebingungannya bercampur dengan kemarahan. "Rumah Bunga? Kamu tahu betapa bahaya berada di luar malam-malam seperti ini? Kamu harusnya pulang lebih awal!"
Bunga, berdiri di belakang Adik, melangkah maju dengan wajah penuh kepalsuan. "Jangan terlalu keras padanya, Bunda. Lagipula, dia hanya ingin bersenang-senang. Tidak ada yang salah dengan itu."