Ketiga, hilangnya trust (kepercayaan) publik dan jelas mencoreng marwah institusi Polri.
Betapa tidak, Ferdi Sambo yang semula merupakan sosok yang dianggap berintegritas, kompeten, dan kapabel dengan Posisi sebagai Kadivpropram dan Kasatgasus merupakan posisi yang strategis dan menjadi harapan besar bagi masyarakat untuk menjadikan Polri sebagai institusi yang berwibawa dan terhormat. Namun, keterlibatannya dalam pembunuhan berencana Brigadir J ini telah memupus harapan masyarakat.
Bahaya yang jauh lebih besar ketika terjadi distrust masyarakat pada institusi Polri dan merupakan tantangan berat bagi Kepolisian Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Kapolri Jendral Lystio Sigit Prabowo dalam hal mengungkap titik terangnya untuk mengembalikan marwah institusi Polri.
Seumpama “dua sisi mata uang”, institusi polri kini tengah berada pada posisi adanya kelompok anggota polri yang tergolong “hitam” dan di sisi yang lain tergolong kepada kelompok “putih”. Marwah itu bisa saja kembali dengan pengusutan yang tuntas dan transparan kepada publik.
Bukan hanya institusi kepolisian yang berada pada kondisi kelompok “hitam” dan “putih” tersebut. Institusi penegak hukum lainnya juga mengalami hal serupa. Masih segar dalam ingatan kita kasus yang melibatkan jaksa Pinangki. Dia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam kasus korupsi pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).
Pertama, Pinangki terbukti menerima uang suap US$ 500 ribu dari Djoko Tjandra. Kedua, Pinangki terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sejumlah US$ 375.229 atau Rp 5,25 miliar.
Perbuatan Pinangki tersebut telah mencoreng institusi Kejaksaan Republik Indonesia. Bahkan ada pula pernyataan kasus Pinangki menjadi bukti bahwa pengawasan melekat (waskat) dan reformasi birokrasi yang ada di Kejaksaan Agung telah gagal dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Institusi peradilan juga tidak luput dari keberadaan kelompok “hitam”. Kita pilih satu contoh Hakim Itong Isnaeni ditetapkan tersangka bersama dua orang lainnya. Mereka yakni Panitera Pengganti PN Surabaya Hamdan dan pengacara bernama Hendro Kasiono selaku kuasa dari PT Soyu Giri Primedika (PT SGP).
Mereka ditangkap dalam operasi tangkap tangan atau OTT yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada OTT itu, Tim Satgas KPK menyita uang mencapai Rp140 juta.
Uang tersebut rencana diperuntukan untuk Hakim Itong Isnaeni yang diduga sebagai penerimaan awal dari perjanjian dalam pengurusan perkara di Pengadilan Negeri Surabaya.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar juga ditangkap oleh KPK atas dugaan penyuapan dan gratifikasi terkait penanganan belasan sengketa pilkada di MK, serta tindak pidana pencucian uang pada awal Oktober 2013 lalu di rumah dinasnya, Jalan Widya Chandra, Jakarta. KPK menyita mata uang dollar Singapura serta AS senilai kurang lebih Rp3 miliar di kediamannya.