Buku ini berangkat dari gugatan penulis terhadap konsep pembangunan di Indonesia yang cenderung bertumpu pada pendekatan top-down. Pemerintah pusat dan daerah menetapkan arah dan program pembangunan, sementara perangkat desa bergulat pada tataran birokrasi dan administrasi. Masyarakat desa hanya diperlakukan sebagai obyek pembangunan. Penulis menekankan bahwa pembangunan yang ideal berupa integrasi pendekatan top-down dan bottom-up. Peran pemerintah tidak lagi bersifat instruksional. Pemerintah memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada masyarakat desa dalam menentukan pola pembangunannya. 'Kepercayaan sepenuhnya' ini bukan berarti pemerintah lepas tangan seutuhnya. Pemerintah masih berkewajiban dalam mengarahkan, membentuk, dan membimbing masyarakat agar memiliki kepercayaan diri untuk mencerna dan memahami masalah, menentukan program/kegiatan, mengevaluasi, lalu merevisinya.
Filosofi pembangunan yang diangkat berakar dari upaya yang dilakukan secara sadar dan melembaga dalam rangka membangun masyarakat. Sebagai sebuah "kesadaran", maka upaya tersebut paling tidak memuat dua kata kunci: "bertujuan" dan "terencana". Di samping itu, sebagai sebuah "upaya", maka pembangunan tersebut harus memiliki "sarana" atau "media".
Pembangunan di Kabupaten Malinau memfokuskan pada pembangunan dari akar rumput (grass root) atau pembangunan masyarakat desa yang tertuang dalam visi Kabupaten Malinau yaitu "Terwujudnya Kabupaten Malinau yang aman, nyaman, dan damai melalui Gerakan Desa Membangun". Bila ditelaah lebih lanjut, pembangunan di Kabupaten Malinau "bertujuan" untuk menciptakan kondisi yang aman, nyaman, dan damai. "Media"-nya adalah Gerakan Desa Membangun (GERDERMA). GERDEMA yang mulai diterapkan sejak 2012 mensyaratkan adanya revolusi (perubahan yang mendasar) yang diawali oleh perubahan sistem nilai, pola pikir (mindset), serta budaya dan tradisi (culture set) dari semua stakeholder, baik elite birokrasi, pranata desa, maupun masyarakat desa itu sendiri. Setelah perubahan tercapai, GERDERMA memberikan suplemen berupa motivasi, pelatihan kepemimpinan, dan sistem informasi. Seluruh elemen ini direncanakan dengan matang dengan melibatkan unsur pemerintah, masyarakat desa, swasta, bahkan lembaga training dan motivasi.
Sebagai sebuah entitas, masyarakat desa merupakan gabungan individu-individu yang memiliki kepentingan pribadi (individual interest) yang berbeda, bahkan berseberangan. GERDERMA mengintegrasikan kepentingan-kepentingan individu tersebut menjadi kepentingan kolektif (collective interest) untuk mencapai kesejahteraan bersama. Di samping itu, GERDERMA merupakan gerakan revolusioner--perubahan yang mendasar--terutama pada perubahan sistem nilai (value system), pola pikir (mind set), serta budaya dan tradisi (culture set). Tidak mudah melakukan perubahan, apalagi pada hal-hal fundamental. Oleh karena itu, GERDERMA menekankan adanya kepemimpinan yang mumpuni untuk menjembatani kepentingan individual agar berkongsi untuk mencapai kepentingan kolektif dan mampu meyakinkan stakeholder untuk melakukan perubahan.
Satu kekurangan dalam buku ini adalah kurangnya deskripsi proses transformasi mindset dan culture set. Mengubah mindset dan culture set yang sudah mengakar bukanlah perkara mudah. Meyakinkan elite birokrasi agar memberikan kepercayaan kepada masyarakat juga tidak sederhana. Proses transformasi di satu desa tentu berbeda dengan di desa lain. Seyogianya proses mengubah mindset dan culture set tersebut dibahas dalam satu bab terpisah sehingga pembaca mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan detail. Secara keseluruhan, buku Revolusi dari Desa ini menjadi referensi menarik dan aktual dalam menginterpretasikan UU No. 6 tentang Desa. Selain itu, GERDERMA yang lahir dua tahun lebih awal dari UU tersebut layak menjadi preseden dalam pembangunan desa sesuai amanat UU tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H