Mohon tunggu...
Lulu Al Adhliyani
Lulu Al Adhliyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mahasantri Bisa Jadi Apa?

30 September 2022   22:50 Diperbarui: 30 September 2022   23:10 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dunia saat ini bergerak dengan sangat cepat, aksesibilitas informasi, budaya, isu, dan teknologi berkembang sedemikian dinamis. Banyak hal yang telah berubah dari masa ke masa, utamanya kualitas manusia, sebagai khalifatul ardh yang diamanahkan Allah untuk mengelola bumi ini. Informasi, trend, bahkan ideologi mudah diakses dengan cepat hanya dengan sentuhan jari, tak ayal banyak pemahaman-pemahaman baru yang terkesan unik tapi melenceng jauh dari apa yang sudah diajarkan oleh agama islam dan apa yang selama ini dipegang teguh oleh bangsa yang melandaskan semua pada Ketuhanan Yang Maha Esa ini.

Perubahan pasti terjadi, pemuda yang sering digadang-gadang menjadi penerus tonggak peradaban saat ini juga pasti berubah dari berbagai sisi. Kualitas diri dari segi kekokohan fisik, mental, dan rohani tentu sangat berbeda dengan pemuda ribuan tahun silam di zaman Nabi SAW. 

Saat ini mahasantri ditempa dan dibentuk oleh bermacam institusi untuk menyeimbangkan dan menselaraskan apa-apa yang terlalu condong ke arah duniawi bergerak menuju poros yang lebih jauh yaitu alam kekal akhirat. 

Beberapa poin inti dari perubahan yang diinginkan tersebut terfokus pada peningkatan kualitas diri dan lingkungan dengan memanfaatkan hal-hal duniawi untuk mendapatkan keridhoan Allah serta kebermanfaatan bagi umat secara meluas. 

Perubahan yang dimaksud dapat dibawa oleh mahasantri dimulai dari diri mereka sendiri, meluas kepada lingkungan yang lebih kecil hingga menghasilkan kebermanfaatan yang lebih luas lagi bagi bangsa, agama, dan kebaikan bumi itu sendiri.

Seorang mahasantri diamanahkan untuk bisa menjadi da'i, penyeru kebaikan bagi lingkaran-lingkaran sosial masyarakat yang berkembang saat ini. Da'i yang tak hanya menyampaikan risalah kebaikan dari Allah tapi juga membawa dampak perubahan nyata yang dapat dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat. 

Da'i tak hanya dimaknai sebagai seorang ustadz, kiyai, ataupun gelar guru islam lainnya, da'i dapat dengan luas kita maknai sebagai penyeru kebaikan untuk bersama-sama menuntun saudara muslim lainnya sama-sama menjadi muslim yang mukallaf. Mahasantri sebagai salah satu representasi da'i harus ikut bagian dalam andil menyeru kebaikan kepada lingkaran-lingkaran yang ada disekitar mereka. 

Proses ini membutuhkan niat, visi, ilmu, guru, dan lingkungan yang mendukung, agar perubahan-perubahan baik dapat ikut mewarnai kedinamisan dalam hiruk pikuknya dunia saat ini.

Perubahan-perubahan yang disebutkan sebelumnya serta peran seorang da'i tak terlepas dari karakter-karakter yang mencerminkan akhlak baik dari seorang muslim itu sendiri. 

Seorang mahasantri dengan berbagai visi dan tujuan yang dibawanya perlu untuk berwawasan global, dimana melandaskan semua hal yang dilakukannya dengan ilmu. 

Dimana dengan ilmu yang Allah titipkan tersebut mereka dapat memahami aqidah mereka dengan sadar, mengenali dan meyakini pencipta mereka dengan ridho, serta menjalankan ibadah tidak hanya sebatas formalitas tapi dapat mencapai taraf ikhlas dan khusyu'. 

Dengan ilmu seorang mahasantri dapat mengerti tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini, mengerti apa yang harus dijaga, diperbaiki, dan dihindari untuk menuju kehidupan serta tatanan kehidupan yang aman, tentaram, makmur, sejahtera, serta bahagia dunia dan akhirat. 

Perlu digaris bawahi dengan tegas menyeimbangkan antara ilmu akhirat dan dunia sangat krusial dipelajari, diamalkan, dan dibagikan oleh seorang mahasantri. Penting bagi seorang muslim menjadi paling ahli dalam bidangnya, dimana semakin banyak muslim yang berperan dalam roda kehidupan maka akan semakin luas rahmat islam dapat dirasakan oleh seluruh penduduk bumi ini.

Berbicara lebih lanjut tentang karakter mahasantri pembawa perubahan di era ini, perlunya seorang mahasantri mengenali diri mereka sendiri. Mengenali diri mereka bahwa mereka ini adalah muslim dengan potensi mereka masing-masing, potensi yang Allah anugerahkan kepada setiap manusia yang kita semua diminta untuk berikhtiar dalam mencari, mengasah, dan memanfaatkannya sebaik mungkin dalam rangka syukur kita pada Sang Pemberi Hidup. 

Seorang mahasantri perlu menyadari bahwa mereka adalah muslim dengan kemampuan spesial, kemampuan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan memahami adanya keragaman potensi dan kemampuan ini, diharapkan dakwah yang dilakukan oleh mahasantri dapat lebih komprehensif dalam berbagai macam bidang kemampuan. Pemahaman diri akan potensi yang dimiliki dapat membantu seorang mahasantri menentukan peran kekhalifan mana yang akan ia ambil di dunia ini.

Pemahaman akan ilmu baik dunia maupun agama serta pemahaman akan potensi diri tidak cukup untuk membawa perubahan di dunia ini, perlu langkah pertama sebagai pelopor perubahan untuk mengaktulisasikan apa yang sudah dicita-citakan. 

Seorang mahasantri diminta untuk menyadari dan peka terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta menjadi pelopor dalam mengambil tindakan untuk memperbaiki kondisi tersebut. 

Perubahan ini dapat dilakukan dengan menyertakan akal, hati, serta aktualisasi perbuatan. Mahasantri perlu untuk mnyadari realita yang ada di masyarakat, apa yang salah di kondisi saat ini, serta perlu mempertimbangkan kondisi tersebut secara objektif dan komprehensif berdasarkan ilmu yang mendalam dalam prespektif islam. 

Selanjutnya adalah menyadari kembali terkait dengan niat yang diimani tentang perubahan yang sedang atau diperjuangkan, tentang tujuan tindakan yang dilakukan ini sebenarnya untuk apa dan siapa. 

Hal ini perlu untuk direnungi kembali, karena parameter kesuksesan seorang muslim ditentukan oleh niat yang melandasi, apakah karena Allah ataukah hanya mengejar kesederhanaan dunia semata. 

Ketika seorang mahasantri menautkan poros tujuan dan niatnya hanya semata mata untuk dan kepada Allah, apapun yang akan dilewati serta diterima akan bergantung sepenuhnya pada penilaian apakah Allah ridho atau tidak dengan hal tersebut, bukan lagi perihal penilaian atau komentar manusia belaka. 

Selanjutnya poin penting dari pelopor perubahan adalah aksi nyata dalam memperjuangkan kebenaran yang telah ditelaah dengan objektif berdasarkan prespektif islam, serta niat yang telah ditujukan hanya pada Allah semata. 

Aktualisasi amal  ini adalah yang paling berat, dimana hanya sedikit yang mau dan mampu memikul lelah beratnya beban tanggung jawab, serta menyelesaikan perubahan yang dimulainya dengan hasil yang bagus. Butuh keberanian dan keteguhan dalam menjalankan perubahan ini, serta keterampilan dan strategi agar apa yang diikhtiarkan dapat terasa kebermanfaatannya tak hanya bagi diri sendiri tapi juga lingkungan disekitarnya.

Setelah berbicara mengenai langkah perubahan yang bisa dilakukan beserta instrument yang dibutuhkan, seorang mahasantri dapat naik level untuk menjadi tokoh sosial. 

Tokoh yang menjadi rujukan dari berbagai perubahan yang akan dilakukan. Seorang mahasantri perlu untuk memiliki citra diri yang kuat untuk dapat merepresentasikan diri seorang muslim yang baik kepada dunia. 

Citra diri seorang muslim bagaikan pohon kurma, bermanfaat disetiap bagiannya, kehadirannya menjadi suatu kebermanfaatan bagi lingkungannya. Citra diri ini dapat dimunculkan dengan kebaikan, seorang yang baik, mencintai perbuatan baik, dan mencintai pelaku kebaikan. 

Kesalehan dan sifat ihsan seorang muslim akan memunculkan cinta dalam hati, simah pada wajah, indah dalam bertutur kata, serta manfaat dalam aktvitas bersama orang-orang yang bergaul dengannya. 

Menjadi tokoh sosial tidak sesempit tujuan-tujuan duniawi atau pujian manusia belaka, tokoh sosial bagi seorang muslim artinya menjadi jalan dalam memperluas kebaikan dan kebermanfaatan yang bisa ia berikan di lingkungannya. Ketokohan yang dimiliki seorang mahasantri bukan untuk dunia tapi sebagai sarana agar ia lebih tunduk dan takut kepada Allah SWT. Tokoh sosial ini tidak hanya menginspirasi tapi juga dapat mempengaruhi lingkungan di sekitarnya dalam jalan-jalan kebaikan. 

Pengaruh yang dapat diberikan dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu memberi teladan sebagai muslim berakhlak karimah, memotivasi dan membimbing dengan memulai interaksi dan meninggalkan kesan yang menyenangkan bagi orang lain dilanjutkan dengan menjadi pendengar serta memberi keyakinan pada orang lain tentang potensi yang mereka miliki.

Selanjutnya adalah memonitoring pertumbuhan orang-orang yang dipilih untuk meneruskan kebaikan-kebaikan lain, dan dilanjutkan dengan melipatgandakan orang-orang yang juga dapat memberikan pengaruh kepada orang lain. Ketika seorang muslim yang baik mengambil peran, insyaa Allah hal-hal baik pula yang akan tersebar membangun peradaban.

Kini kita akan membahas terkait karakter diri yang perlu dimiliki oleh seorang mahasantri untuk mendukung perubahan-perubahan yang akan dilakukan sebagai sarana perluasan kebaikan yang bisa dilakukan. 

Kepribadian yang pertama adalah kokoh mental dan spiritual, seorang muslim perlu untuk memiliki kekokohan mental dalam menghadapi kesulitan, kemampuan membuat situasi yang menekan dan berpotensi merusak menjadi situasi yang memberikan kesempatan bertumbuh. Seorang muslim yang bermental kokoh menyadari betul bahwa semakin besar ujian yang diberikan semakin tinggi pula kesempatan untuk bertumbuh besar. 

Dalam membentuk pribadi mahasantri yang bermental kokoh perlu adanya penguasaan kemampuan 3C (challenge, control, dan commitment). Challenge, kemampuan dimana seseorang dapat menerima realita bahwa hidup ini penuh kesukaran yang berat dan menekean, kemudian mampu melihat bahwa kondisi tersebut sebagai peluang untuk bertumbuh lebih bijak dan mengubah tantangan tersebut menjadi sesuatu yang menguntungkan.

Pola pikir ini tumbuh dari sikap ridho, rela dengan setiap ketentuan yang Allah telah tetapkan. Meyakini bahwa apapun yang Allah kehendaki baik itu menurut pandangan manusia adalah hal buruk ataupun hal baik, keseluruhannya adalah kebaikan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerima takdir tersebut dengan lapang dada. 

Selanjutnya adalah control, dimana seorang muslim wajib meyakini bahwa seburuk apapun situasi yang dihadapi, seorang muslin harus terus berjuang untuk menjadikan sesuatu yang menekan menjadi suatu hal yang pas untuk bertumbuh. 

Kemampuan ini membahas mengenai tawakkal, bagaimana seorang muslim mengikhtiarkan segenap tenaga mereka, dan memasrahkan sepenuhnya terkait apa apa yang sedang mereka lakukan hanya kepada Allah SWT.

Langkah selanjutnya adalah commitment, yaitu keyakinan bahwa bagaimanapun sulitnya keadaan, penting untuk kita mampu tetap terlibat dengan apapun yang sedang terjadi dibandingkan memisahkan diri kemudian terhanyut dalam kesendirian, lebih baik bersama bukan pergi menninggalkan.

Seseorang dengan mental kokoh bukanlah gift atau anugerah tapi kemampuan itu dipelajari, ditingkatkan perlahan lahan, melalui satu persatu ujian yang Allah berikan. 

Sejatinya semua permasalahan yang dialami seorang mahasantri saat ini adalah ladang pembelajaran, dan ladang dimana Allah sedang mempersiapkan mereka untuk kepentingan agama Allah di masa depan. Kekokohan mental tidak akan sempurna tanpa kekokohan spiritual. 

Kekuatan seseorang ini bergantung pada sesuatu yang ia jadikan sandaran, sandaran yang kokoh inilah yang akan menentukan kekokohan seseorang dalam mengarungi derasnya badai kehidupan. 

Dengan menyandarkan segala sesuatu pada Allah didukung dengan ibadah yang benar, jiwa seorang muslim akan semakin kuat dan akan senantiasa dekat kepada Allah SWT. 

Kekokohan ini dimulai dengan pondasi aqidah yang kuat, dilengkapi ibadah yang benar sebagai pengisi jiwa, dikuatkan dengan hawa nafsu yang terjaga akan tercermin melalui akhlak mulia yang kokoh.

Selanjutnya adalah karakter mandiri dan kreatif. Ketika sudah mencapai aqil baligh, islam meminta muslimin menjadi pribadi yang mandiri, yang bertanggung jawab penuh akan hidupnya sendiri, dan bahkan siap menerima tanggung jawab yang lebih besar lagi. Ketika seorang anak telah mencapai masa aqil balighnya mereka juga seharusnya sudah memiliki sifat ar-rusyd yaitu kebijaksanaan dalam penjagaan, pemanfaatan, pengelolaan dan penyumbangan harta. 

Saat ini mahasantri tentu sudah mencapai fase aqil balighnya, dimana mereka bukan lagi penumpang tapi sudah menjadi pengemudi dari kendaraan mereka sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kendaraan tersebut.

Seorang pengemudi haruslah paham tujuan dari perjalanannya, mengetahui rute perjalanan tersebut, serta pastilah ia akan mampu merawat sendiri kendaraan tersebut. 

Seorang muslim yang mandiri haruslah memiliki empat prinsip seorang pengemudi, yaitu inisiatif, melayani, navigasi, dan bertanggung jawab. Ketika kita mantap di kursi kemudi kita, Allah pasti akan menghadapkan kita pada berbagai permasalahan dan ujian. Kali ini seorang pemuda tidak lagi bisa bergantung pada siapapun termasuk orang tuanya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. 

Saat menghadapi situasi stuck seperti ini, mencoba berbagai macam cara namun belum ada hasilnya juga, yang perlu untuk diperbaiki adalah strategi yang digunakan. 

Memunculkan inovasi-inovasi baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Perlu berpikir kritis dan out of the box untuk dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada bisa jadi dengan cara yang lebih efisien dna efektiv dari metode yang pernah ada. Ide kreatif ini hanya bisa lahir dari pemahaman mendalam hingga ke dasar serta imajinasi untuk memunculkan gagasan-gagasan baru yang dibutuhkan.

Kemampuan terakhir yang diperlukan oleh seorang mahasantri adalah berdikari secara finansial. Financial freedom dapat dimaknai sebagai kondisi ketika seseorang sudah dapat memenuhi berbagai keperluan pribadinya hanya dari passive income yang dihasilkan. 

Kebebasan finansial diartikan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai kondisi dimana seseorang telah berhasil menempatkan harta di tangannya, dan bukanlah di hatinya, sehingga muncul sifat qana'ah dalam dirinya, yaitu sifat puas atas setiap rezeki yang Allah berikan kepadanya. Sifat qana'ah akan rezeki ini mendatangkan ketenangan dalam hidup seorang manusia.

Namun perlu digaris bawahi agar sifat qana'ah ini dibarengi dengan ikhtiar, jadi bukan hanya sebatas menunggu saja, tapi juga membersamai usaha dengan sikap cukup dan bersyukur atas rezeki yang Allah berikan. 

Seorang mahasantri wajib untuk memahami mana kebutuhan dan prioritas kebutuhan yang dimilikinya, mana yang termasuk kebutuhan pokok, sekunder, serta barang mewah. 

Sakinah finansial dapat dicapai apabila posisi pengeluaran sama dengan ataupun lebih kecil dari pendapatan. Perlu adanya kebijaksanaan individu dalam mengatur keuangan yang dimilikinya, serta perlu adanya ikhtiar untuk mendapatkan harta yang barokah, halal, dan cukup untuk memenuhi kebutuhan serta disedekahkan. 

Perlu adanya pembagian terkait perencanaan finansial secara lengkap oleh seorang mahasantri, agar apa yang didapatkannya dapat dikelola dan dikeluarkan dengan baik dan tepat.

Berikut tadi beberapa profil kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh seorang mahasantri. Mulai dari menjadi da'i produktif, pemuda berwawasan global, berkemampuan spesial, pelopor perubahan, menjadi tokoh sosial, bermental kokoh, mandiri dan kreatif, serta berdikari secara finansial. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun