Mohon tunggu...
Nur Lodzi Hady
Nur Lodzi Hady Mohon Tunggu... Seniman - Warga negara biasa

Seorang pembelajar yang mencintai puisi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"Kakiku Terpaku"

27 Oktober 2015   20:22 Diperbarui: 28 Oktober 2015   10:51 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="kakiku terpaku"][/caption]

(Boeat: Soempah Pemoeda, 28 Oktober)

Aku berjalan mengendarai sepotong jarum jam
Detik demi detik aku lanpaui
Tanpa aku pernah mampu menghentikan geraknya
Atau melompat mengacuhkannya;

Dan entah mula kapan lantas aku dapati diriku terduduk di sini
Ketika seorang nenek renta
Dengan bersusah payah menghampiriku:

“Anak muda, pulanglah,
hari mulai beranjak siang..

[Aku hanya bisa terdiam
Sambil memandang sang nenek itu berlalu;
Kakiku seperti terpaku!]

Aku bermain di bebiruan hari ini
Memutar-mutar kristal mimpi
Dalam kegersangan pikiran
Ketika seorang kakek
Dengan telisik mata yang dalam
ia bertutur berat kepadaku:

“Anak muda, pulanglah,
hari segera menjadi siang!”

[Aku hanya bisa terdiam
Sambil memandang sang kakek itu berlalu:
Kakiku seperti terpaku!]

Kembali aku bermain
Memutar-mutar kristal mimpi
Kali ini dengan segantang harapan
Ketika tiba-tiba berdiri di hadapanku
Seorang muda perkasa
Yang dengan mata merah melotot
Ia menghardikku:

“Pulang!!
hari telah menjadi siang!"

"Tidakkah engkau lihat api
Yang menjalari dapur rumahmu
Tidakkah engkau dengar derai tawa
Yang menindih gelegak isak tangis
Tidakkah engkau cium
Bau busuk bangkai dalam nafas kamarmu

Tidakkah engkau rasakan sobekan sobekan kepedihan itu
Memasuki setiap ruang-ruang sempit
Kesadaranmu.

Bersegeralah pulang,
Kerna matahari akan selalu enggan
demi menoleh kebelakang".

"Jangan ikhlaskankan saudara-saudaramu itu
Menjelma dewa-dewa kecil yang bengis
Berdiri angkuh di balik tembok-tembok istana negerimu
Yang suara sendawanya memantul dari menara
Hingga di padas-padas, ngarai dan samudra

Dan kaudapati;setiap waktu mereka mengintai saat saat terjaga
dan tidur pulasmu, yang selalu berlelehan keringat
oleh kerasnya hidup dan mimpi mimpi buruk.

Bersegeralah bangun dan pulanglah,
Hari telah disengat siang!”

[Aku hanya bisa terdiam
Sambil memandang sang perkasa itu berlalu:
Kakiku seperti terpaku!]

Malang, 28 Oktober

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun