Mohon tunggu...
Nur Lodzi Hady
Nur Lodzi Hady Mohon Tunggu... Seniman - Warga negara biasa

Seorang pembelajar yang mencintai puisi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pancamaya

25 Januari 2011   07:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:12 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti terlukis dalam gunungan wayang purwa, nafsu dan hasrat kehidupan manusia diwakili oleh empat totem: harimau, banteng, kera dan burung merak. Gunungan sendiri merupakan perwujudan final dari dialektika dan persingunggan dari keempatnya.

Harimau yang menggambarkan kecenderungan Amarah adalah manifestasi api dengan simbol warna merah. Banteng yang menggambarkan nafsu Sufiah, merupakan manifestasi angin, dengan dimensi warna kuning. Kera menggambarkan watak Lawwamah atau aluamah sebagai manifestasi bumi dengan corak warna hitam. Sedangkan burung merak merupakan simbolisasi dari karkter Mutmainah, manifestasi air dengan dimensi warna putih.

Dalam tradisi kejawaan yang kita kenal, keempat unsur tersebut menemukan konteks spiritual filosofis adiluhungnya melalui konsep “Sedulur  Papat, Limo Pancer”.

Sedulur Papat adalah : Marwati, semangat pengorbanan seorang ibu dengan taruhan nyawanya sendiri saat melahirkan. Kawah, yakni air ketuban yang mengawal hingga terjadi proses kelahiran. Keduanya dianggap sebagai saudara tua si si jabang bayi. Sementara plasenta (ari-ari) dan darah ibu (rahsa) yang muncul setelah proses kelahiran disebut sebagai saudara muda. Dari sinilah lantas kita menggenal istilah Kakang Kawah, Adhi Ari-ari.

Keempat Sedulur (saudara) tersebut selanjutnya berdiri pada empat penjuru mata angin, menjelma empat totem binatang, berdimensi empat warna dan dikawal oleh empat malaikat,  Jibril, Isrofil, Mikail, dan Izroil (setelah masuknya Islam di Jawa, Sunan Kalijaga manambahkan hal ini [?]). Semuanya merujuk pada satu pusat, satu pancer...satu poros, Ia adalah si  jabang bayi : persona manusia.

Bertolak dari saat pertama kali mengenal dunia, mampukah ia -- sang persona -- menggendalikan keempatnya demi melintasi jeram hidup dengan mengoptimalkan seluruh potensi kekuatan dari masing-masingnya, atau justru akan di"babu"kan oleh sisi hitam kehadirannya, sedang keberanian untuk memilih pun tak lepas dari citra-citra yang juga diamanatkan oleh keempatnya… tampaknya pun pengetahuan dan kemampuan mendiagnosa persoalan sangat berperan penting demi mendukung semua proses tersebut, baik dalam hal memulai mengenali sesuatu, memantapkan pandangan hingga memakzulkan sebuah pilihan..

Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun