Mohon tunggu...
Fadli Hermawan
Fadli Hermawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Suka minum coklat hangat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memorabilia

11 November 2014   06:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menuju ruang makan. Sejenak aku memandang ke luar dari balik jendela. Tetesan hujan rupanya mulai turun, berdenting mengenai atap rumah. Tak lama kemudian mengalir dengan derasnya. Angin bergemuruh semakin kencang. Suara-suara petir saling bersahut-sahutan, menggelegar di angkasa. Kembali perasaan hampa mengisi hatiku.

---oOo---

(Kanal Old Batavia oleh Moel Soenarko. Ilustrasi: Rusemoes)

Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore. Hujan baru berhenti sekitar jam dua siang. Tak terlihat secercah pelangi, namun langit agak cerah kemerahan. Menandakan senja yang muncul dari ufuk barat.

Aku menghela nafas sambil berkata pada diriku sendiri, “Cepat sekali waktu berlalu. Seperti halnya diriku yang akan lekas berlalu pula dari dunia yang membosankan ini.”

Aku memutuskan untuk keluar rumah sejenak, sembari mengajak anjing peliharaanku. Namanya Brandal. Entah ide darimana aku memberinya nama itu padanya. Berjenis husky dan memiliki bulu putih kehitam-hitaman. Kupungut ia saat aku menemukannya sedang terkapar karena ditabrak lari oleh pengendara mobil, persis di depan rumahku beberapa tahun yang lalu. Dalam keadaan lemah, aku membawanya masuk ke dalam rumah. Mulanya kakakku tidak setuju karena ia lebih tertarik pada kucing. Selain itu ia juga pernah digigit anjing akibat keisengannya, tetapi aku berhasil meyakinkannya bahwa aku ingin memelihara anjing tersebut yang menurutku lucu. Akhirnya, kakakku menyetujui permintaanku.

“Ayo, kita pergi keluar.”, aku berbicara pada Brandal.

“Guk! Guk!”, Brandal membalas. Seolah ia mengatakan setuju padaku.

Aku sengaja tidak memakai tali ikatan pada Brandal, karena menurutku ia sudah mengerti. Ke mana saja aku pergi, ia mengikutiku. Ia juga tak segan untuk membawakan paket kiriman kecil padaku. Mungkin itulah cara dia mengungkapkan rasa terima kasihnya padaku karena telah menyelamatkannya.

Aku melangkahkan kakiku yang beralaskan sandal menuju Kota Tua. Suasana mulai ramai oleh banyaknya kendaraan yang berlalu-lalang, memadati dan membuat macet jalan raya. Udaranya juga tak sesegar di pagi hari, karena telah bercampur dengan asap-asap yang keluar dari tiap-tiap kendaraan. Belum lagi suara bising dari nyala mesin dan bunyi klakson yang saling bersahut-sahutan. Dalam hati aku berkata, bagaimana mungkin mereka bisa bertahan hidup dalam kondisi seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun