Guliran waktu terus merangsek, meninggalkan jejak masa lalu. Kini kita sudah memasuki fajar baru 2015. Selamat tinggal 2014. Suatu pergantian lintasan waktu alamiah. Sejatinya, tidak ada yang istimewa, karena aspek penting yang ingin disampaikan dalam simbolisasi waktu itu adalah bagaimana kondisi kita hari ini lebih baik dari sebelumnya. Namun, tetap saja ada mengekspresikannya secara berlebihan.
Ketika tahun berganti, sesungguhnya umur manusia berkurang. Lintasan waktu yang tersisa dalam rangkaian hari ke depan semakin menyusut. Sesungguhnya manusia alam kerugian besar, jika tidak memanfaatkannya untuk ketaatan kepada Allah. Karenanya, detik-detik yang berdentang amatlah bermakna. Sangat tepatlah jika Islam mengibaratkan waktu seperti pedang.
Waktu berlalu begitu cepat. Apa yang tadi kita sebut ‘di sini atau sekarang’, sesungguhnya telah bergulir cepat, mengalir bersama arus air hingga telah mengubah posisinya menjadi ‘di sana atau tadi’. Banyak orang menyatakan masa lalu adalah kenangan, masa depan adalah harapan. Hidup itu, sekarang dan di sini. Kata yang bijak. Tetapi, filsafat sejarah membangun aspek baru tentang konteks kekinian. Kini dan sekarang adalah ilusi. Tidak ada yang namanya sekarang, karena waktu bergerak dan sangat dinamis. Karena itu sulit menentukan sekarang atau kini. Sama seperti sulitnya menentukan air manakah yang tadi mengalir di suatu sungai, karena waktu bergerak seperti air mengalir di sungai.
Soal pergantian tahun ini, akhir pekan lalu, para ulama mengingatkan masyarakat soal alur perubahan waktu ini. Ulama menyatakan pergantian tahun baru adalah sunatullah, seperti pergantian siang dan malam. Tidak harus dirayakan secara khusus dan berlebihan, apalagimenghabiskan banyak dana. Ulama pun kembali mengingatkan soal pesta pergantian tahun yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Seperti minuman keras, penggunaan obat-obatan terlarang, Narkoba dan lain-lain jenisnya.
Gejala negatif khas perayaan tahun baru ini memang perlu dikuatirkan. Generasi muda kerap terjebak suasana yang larut dalam tindakan merusak dan mendegradasi akhlak. “Fatwa” MUI itu selayaknya dihayati sebagai benteng awal untuk menjaga diri dari tindakan yang menyebabkan seseorang semakin tidak ‘nyetel’ dengan tuntunan nilai agama. Seperti yang lazim terlihat, sisi hura-hura dan gegap-gempita menjelang pergantian tahun rutin terlihat dan merupakan pengalaman kurang mendidik bagi generasi bangsa. Apalagi, kerap tersiar kabar ada kejadian kekerasan, mabuk-mabukan, trek-trekkan di jalanan, dan tergadaikannya moralitas masyarakat karena jebakan suasana tanpa kendali.
Tahun 2014adalah masa lalu. Masa lalu menjadi tempat berpijak agar dapat mendorong ke depan. Dalam kata lain, melangkah ke depan berpijak pada kenangan, sehingga untuk maju manusia memang harus mundur dulu. Mengambil tenaga. Kata lainnya merefleksikan.Kini pada muara awal 2015, mari menjadikannya momentum titik balikmembangun kesadaran baru, menoleh sejenak, mengambil jeda nafas baru. Selanjutnya merangsek maju hingga batas terjauh. Semoga durasi waktu yang tersisa, semakin bermakna bagi kemaslahatan.
Dalam pandangan agama, seharusnya manusia bersyukur terhadap nikmat waktu yang diberikan Allah. Tentunya ekspresi mensyukurinyabukanlah memasuki areal hura-hura, memboroskan uang seperti membunyikan petasan, dan bahkan menyerempet tindakan destruktif lainnya. Ajakan MUI itu merupakan pesan agar menghargai nikmat waktu yang diberikan.
Ekspresi yang tepat untuk menandai guliran waktu ini adalah semakin mendekatkan diri dalam ketaatan dan ibadah. Itulah hakikat syukur yang sebenarnya, tidak menyia-nyiakan waktu. Mari meresapi setiap detik guliran waktu…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H