“Saya menikah hanya bermodal katok. Hanya itu yang bisa saya beli dengan uang saya sendiri. Sarung, Baju dan Peci yang saya gunakan ketika akad nikah, semuanya adalah pinjaman. Bahkan, mas kawin yang saya persembahkan untuk istri saya hanya uang 20 ribu hasil pemberian orang di pasar”
(cerita cak dul, sopir taxi yang mengantarku ke bandara saat itu..)
Pergantian zaman telah banyak merubah gaya hidup dan cara pandang kita terhadap hidup itu sendiri. Saat ini, semua peta hidup yang kita lalui seakan tunduk dan patuh pada perintah raja kecil bernama logika. Hampir tak ada keputusan besar dan penting yang kita ambil tanpa persetujuan sang logika. Betapa banyaknya perkara di dunia ini yang gagal diambil gara gara diveto olehnya.
Tanpa bermaksud untuk meletakkan Logika dalam sisi tidak penting dalam hidup ini, karena bagaimanapun Logika sebagai produk dari fikiran kita adalah rahmat yang sangat bernilai dan harus kita manfaatkan sebesar besarnya untuk keselamatan kita di dunia sampai akhirat sana, saya ingin mengajukan beberapa sisi lain dari perjalanan hidup beberapa kawan, sahabat dan orang orang yang pernah saya temui. Betapa banyak di antara mereka bahkan kita, yang bisa “tidak tunduk” seratus persen pada logika dan (cukup) menempatkannya pada porsi yang layak.
Ambil contoh sederhana dari seorang Cak Dul, yang kata katanya saya kutipkan di awal tulisan ini. Cak Dul bagi sebagian orang mungkin adalah sosok yang bisa menjadi contoh, karena dia berangkat dari nol dengan modal DOA dan Ikhtiar semata serta penyerahan diri yang utuh pada Sang Sutradara Kehidupan. Terlahir dari keluarga miskin, menikah dengan orang miskin tak membuatnya menyerah. Dari sopir angkot selama 15 tahun, sampai menjadi sopir taxi 3 tahun terakhir ini, hidupnya diliputi ketidakpastian.
Ia mencoba membuat hitung hitungan di depan saya, saat ini saja, penghasilan dia hanya 15% dari pendapatan menarik taxi sehari. Paling banyak, dalam sehari ia hanya mampu mengumpulkan uang 300 ribu, itu artinya dalam sehari ia hanya membawa pulang 45 ribu. Uang itu ternyata sudah habis sebelum ia sampai di rumahnya di Kelurahan Keputih, Sukolilo, Surabaya. Biaya operasional untuk menghidupi dirinya sama besarnya dengan uang 45 ribu itu. Katanya: uang itu habis buat makan 3 kali, beli es dan sedikit camilan di jalan. Mungkin sampeyan bertanya, mengapa saya bisa bertahan sekian lama di surabaya dengan kondisi seperti itu? bekerja dan tidak mendapatkan apa apa, jika kita hitung dengan logika saya tadi, lanjutnya.
Tanpa menunggu jawaban saya, dengan penuh penghayatan, Bapak 3 putra ini menjawab sendiri pertanyaannya. Saya sudah menjalani hidup yang lebih menderita dari ini dan saya berhasil melaluinya, Alhamdulillah. Walau hitungan hitungan yang saya buat tidak menjamin masa depan saya, saya tidak boleh menyerah, saya jalani saja. Tugas saya hanyalah ikhtiar mas, semua sudah ada yang mengatur. Kalau saya menyerah, tentu bisa dipastikan saya hanya berpangku tangan dan menjadi pengangguran. Saya bekerja dan tidak, toh hasilnya sama. Tapi saya tidak mau menyerah, kerja saya tiap hari, menarik taxi adalah bukti syukur saya pada Allah sekaligus kewajiban saya pada istri dan anak saya. Begitulah cerita Cak Dul.
Di pulau lain, cerita sama sangat banyak kita temukan dan mungkin lebih mengerikan. Ambil contoh adalah kehidupan orang tua saya sendiri, Ayah saya dan juga Ibu saya (semoga Allah menyayangi mereka) menjadi contoh terdekat bagi kehidupan saya. Ayah yang hanya lulus Sekolah Rakyat (itupun tanpa ijasah) dan Ibu yang hanya sampai kelas tiga Sekolah Rakyat, begitu memahami jalan hidup ini. Tak semua mereka logika, bahkan yang sudah terlanjur mereka logikapun tidak mereka biarkan menundukkan jalan maju mereka. Ayah saya bilang, ketika ia menikah, ia hanya bermodal dua kain panjang, dua kain ini masih tersimpan rapi di lemari kayu kami. Ayah tak punya pekerjaan sampai saya lahir. Hidup keluarga ditopang oleh Ibu yang berjualan di pasar, seadanya, berangkat kepasar menghutang beberapa barang orang, kemudian dijual kembali kepada pembeli, siangnya utang itu dibayar dan ibu bisa kembali pulang dengan membawa selisih harga jual tadi. Orang Lombok menyebutnya sebagai aktivitas NENTEN.
Kelahiran sayapun sangat jauh dari layak, lahir digubuk orang yang air hujan bisa menerobos dengan gampang ke dalam rumah. Alhamdulillah, semua bisa berjalan lancar, bahkan melampaui cita cita mereka terhadap kehidupan dan masa depan penerusnya.
Hidup tidak semua (harus) dilogika, bahkan ketika ayah tiba tiba ingin berangkat haji. Keinginannya yang besar di bakar olah nyanyian Qasidah “Pedagang Kaki Lima” yang menceritakan bahwa Pedagang Kaki Lima pun bisa naik haji. Semangatnya untuk naik haji, dipertajam dengan bekerja keras dan belajar mengaji, karena waktu itu, ayah tak bisa membaca alqur’an. Ibu hadir menjadi guru mengaji dan kolega menjemput rizki dan cita cita besarnya. Setelah ayah berhasil, Alhamdulillah ibu bisa menyusul 2 tahun setelahnya.
Ada juga cerita lain di sebuah tempat pembuangan sampah di keputih, surabaya (sebelum TPA ini ditutup). Seorang pemulung, saya temui sedang berlindung dibawah kardus dari hujan diantara tumpukan sampah, kardus itu adalah rumahnya. Ia jalani dengan ikhlas, tanpa pernah mengeluh, tak pernah merasa kekurangan. Karena apa yang Allah berikan untuknya juga untuk KITA, tanpa kita minta, jauh lebih banyak dari apa yang kita minta.
Berdoa, Berikhtiar, Tawakkal itulah kata kuncinya. Semoga Allah menjadikan ANDA sebagai orang sukses DUNIA dan AKHIRAT sekaligus.
Catatan: gambar nemu di google
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H