Mohon tunggu...
Arieans_Saputra
Arieans_Saputra Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

MNAE

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kiai Tumenggung Jayapati, Sepenggal Perjuangan Rakyat Batang Alai

31 Agustus 2021   09:00 Diperbarui: 2 September 2021   11:32 1913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta letak desa Bulanin, dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda (1923-1927)

Sehari kemudian setelah ekspedisi ke Bulanin, Von Ende memerintahkan kepada Coevoet untuk menuju Jati karena berdasarkan informasi sebelumnya bahwa Demang Lehman akan menemui Jayapati disana.

Coevoet berangkat membawa 30 orang pasukan bayonet untuk melakukan pengecekan dan sesampainya di Jati dari seberang sungai yang luas berdiri pasukan bersenjata dan terlihat seorang pria di atas kudanya. Alangkah terkejutnya Coevoet setelah mengetahui bahwa pria itu adalah Demang Lehman yang selama ini mereka cari-cari.

Pertempuran kembali pecah. Tak ada pilihan Von Ende selain memerintahkan Coevoet untuk menghabisi para pemberontak itu. Tembakan demi tembakan pun bersahutan dari arah seberang, sungaipun menjadi pembatas medan laga peperangan antara kedua kubu. Coevoet nekat untuk mendesak para pasukan dari pejuang pribumi, namun dua anggota pasukannya tewas. Kopral Smaalen yang memimpin penyerangan pun terkena tembakan dan terpaksa mundur.

Melihat ini Von Ende menyadari bahwa pasukannya sudah kelelahan karena sehari sebelumnya menempuh jalur yang melelahkan ditambah bekal makanan yang menipis. Di kesempatan yang sama dan dalam suasana yang berkecamuk, ia bertambah geram kepada informan yang menunjukkan posisi tidak tepat sehingga pasukannya menjadi bulan-bulanan pasukan gabungan Demang Lehman, Jayapati dan Demang Jaya Negara Seman. Informan yang tidak diketahui namanya itupun ditembak mati sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Untuk kedua kalinya Von Ende dipukul mundur di peperangan Rantawan maupun di Jati.

Status Buronan dan Vonis Mati 

Sejak peristiwa 17 dan 27 Oktober 1860 di Rantawan dan Jati, Jayapati terus dicari dan menjadi buronan Belanda. Diperoleh informasi bahwa Jayapati sedang bersembunyi di hutan Kamuyang yang terletak di belakang sebelah utara desa Rantawan. Untuk membuktikan kebenaran informasi tersebut, pada 19 Januari 1861, pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Haaften melakukan patroli malam ke hutan itu. Sesampaikan di Kamuyang, terjadi kontak senjata dengan sekelompok kecil pejuang pribumi, Van Haaften dan pasukannya sempat merampas beberapa pucuk senjata yang dipasok oleh Demang Lehman, namun target mereka yaitu persembunyian Jayapati tidak ditemukan.

Pada 14 April 1861, Jayapati beserta 3 orang "pemberontak" lainnya yaitu Kiai Ngabehi Jaksa Negara, Hadi Yusup dan Lurah Daras, divonis hukuman mati dalam suatu putusan pengadilan di Afdeeling Amuntai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun Belanda tak melaksanakan eksekusi itu karena tak kunjung dapat menangkapnya. Berita tentang empat orang “pemberontak” inipun sempat diwartakan di koran negeri Belanda Nederlandsche Staats-Courant terbitan 28 Juni 1861 dan Samarangsch advertentie-blad yang terbit pada 24 April 1861.

Jayapati tetap bersembunyi di hutan Kamuyang dan sekitarnya bersama orang-orangnya yang masih setia, ia berpindah-pindah untuk menghindari kejaran sembari terus melakukan perlawanan kepada Belanda. Untung tak dapat diraih, maut tak dapat ditolak, kusuma itu gugur, menghembuskan nafas terakhirnya di balik dingin dan rimbunnya hutan Kamuyang, tanggal dan penyebabnya tidak diketahui pasti.

Kehilangan seorang tokoh pemimpin perang seperti Jayapati tidak lah memadamkan api perlawanan kepada Belanda. Tradisi ini terus diwariskan kepada segenap keturunan dan pengikutnya. Melalui tutur magis, “bara” itu terus didengungkan turun-temurun dan siap membakar darah-darah baru. Bara itu sejatinya tetap ada dan siap menyala kapan saja, terbukti api perjuangan terus berkobar di Batang Alai sejak episode Perang Banjar tahun 1860 hingga era revolusi fisik untuk mempertahakan kemerdekaan antara tahun 1945- 1950. Status kawasan Batang Alai tetap menjadi “zona merah” bagi Belanda. Gugur satu tumbuh seribu, Batang Alai terus saja mencetak para penjuang-pejuang pemberani berhati besi, wajah mereka boleh baru tapi semangat mereka masih tetap satu.

Makam Kiai Tumenggung Jayapati sebagai situs budaya

Sebagai wujud apresiasi atas kiprah nyata selama hidupnya, makam Kiai Tumenggung Jayapati yang berada di Hutan Kamuyang, yang kini berada wilayah administrasi Desa Abung, Kecamatan Limpasu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Makam tersebut berukuran 86 cm x 216 cm dengan cungkup yang terbuat dari kayu dan beratapkan seng. Makam sudah diplester dan diberi ubin/keramik putih. Sementara gundukan tanah yang ada di permukaan makam diberi penutup kain kuning.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun