Mohon tunggu...
Liza sulistiani
Liza sulistiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Jurnalistik di Univeristas Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Keterpaksaan Menggandeng Wakil Pilpres 2019

1 Oktober 2018   13:10 Diperbarui: 1 Oktober 2018   14:04 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Liza Sulistiani*

Kamis sore, 20 September 2018. Komisi Pemilihan Umum mengetuk palu: Pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno resmi berlaga melawan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Laga pilpres akan digelar pada 19 April 2019. Dalam pilpres ini ada alasan mengapa Jokowi memilih Ma’ruf  dan Prabowo memilih Sandiaga.

Mengapa Jokowi-Ma’ruf?

Salah satu alasan mengapa Ma’aruf adalah meruncingnya sentimen Islam terkait dengan kasus 30 September 2016. Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Thahaja Purnama membuat blunder. Ia mengutip Surat Al-Maidah 51 dalam pidato di Kepulauan Seribu soal suksesi kepemimpinan. Dalam pidatonya Front Pembela Islam, yang dimotori Rizieq Shihab, menggalang aksi mendongkel Ahok atas tuduhan “penistaan agama”. Aksi ini mendapat sambutan massa hingga berhasil membuat demo besar-besaran pada 4 November 2016 (411) dan 2 Desember 2016 (212). Setelah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin menjatuhkan fatwa bahwa ucapan Ahok termasuk dalam kategori “penodaan agama” Keriuhan ini dimanfaatkan oleh kubu oposisi yang mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai penantang Ahok-Djarot Saiful Hidayat dalam perebutan kursi gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Ahok yang didukung PDIP dan Jokowi pun kalah dalam pemilihan gubernur, tak hanya itu Ahok diputuskan bersalah dan mendapat hukuman dua tahun penjara, sentiment Islam tidak berhenti sampai disitu alarm lebih besar untuk Jokowi. Sentimen agama coba terus dipelihara oleh kubu penentang, dalam konteks melawan Jokowi. Sehingga, tak heran, kemudian ada gerakan susulan dari lawan Jokowi lewat kampanye tagar #2019gantipresiden.

Problem utama Jokowi adalah sentimen Islam yang kerap digaungkan penentangnya. Dalam konteks ini, dirasa Ma’ruf tepat bersanding dengannya kerena Ma’ruf adalah tokoh dalam gerbong yang sama dengan Anies ketika itu dan masuk didalam pusaran sentimen Islam yang muncul dari blunder Ahok dan berhasil menggulingkan jabatannya. Selain itu, dipilihnya Ma’ruf, dalam kalkulasi politik, adalah obat mujarab untuk membentengi serangan kepada Jokowi yang kerap dituding anti-Islam. Secara politik, Ma’ruf adalah tokoh dengan value tertinggi.

Dipilihnya Ma’ruf  dapat dikaitkan dengan pengendalian kekuasaan politik jawa pandangan Pramoedya yaitu memberikan legitimasi jabatan dan kedudukan kepada tokoh yang berpengaruh di masyarakat. Ia mendeskripsikan proses legitimasi kekuasaan Tunggul Ametung dalam kisah Arok Dedes. Pada awalnya Langi seorang berkasta Sudra, sebagai kepala perampok, serta perusuh. Langi dan pasukannya melakukan tindakan kerusuhan, pembunuhan, dan perampokan di wilayah kekuasaan Kediri. Sri Kertajaya sebagai raja Kediri kewalahan menghadapi kerusuhan yang dilakukannya. Untuk meredakan kerusuhan Langi dan pasukannya, Sri Kertajaya  melakukan kompromi politik dengan Langi, dan melegitimasinya sebagai Akuwu Tumapel, bergelar Tunggul Ametu. Pada deskripsi ini tentunya kita dapat lihat adanya kesamaan konsep pengengendalian kekuasaan politik Jawa pandangan Pramoedya dalam novelnya Arok Dedes.

Mengapa Prabowo-Sandiaga?

Salah satu alasan mengapa Sandiaga karena Prabowo tak lagi punya cukup dana dalam pilpres 2019 dan faktor yang menentukan muara dari terciptanya pasangan itu sudah dimulai sejak tiga tahun lalu, dengan lumpuhnya Petral, salah satu sumber logistik utama. Prabowo dan koalisinya tak memiliki cukup gizi adapun upaya yang dilakukan Prabowo dengan menggalang dana dari para pendukungnya tidak mendapat sambutan yang gemilang sehingga tidak mencapai target yang diinginkan. Problem dana ini tak juga teratasi ketika tiba masa penjaringan calon wapres. Sederet nama tokoh yang diajukan oleh banyak pihak tak ada yang diamini Prabowo. Mereka hanya setor nama, tapi tak punya daya ikut menyediakan dana logistik yang cukup. Akibatnya, perhitungan bakal meraih keuntungan politik dengan menggandeng cawapres yang berbeda partai, berbeda suku, berbeda pengalaman, berbeda audiens, berbeda generasi, terpaksa dikesampingkan terlebih dulu. Logistik adalah prioritas utama. Alih-alih memilih cawapres tokoh lintas partai atau kelompok pendukung lain, Prabowo akhirnya menggandeng kawan separtai yang juga konglomerat: Sandiaga Uno.

Kasus pada Prabowo juga ada kaitanya dengan konsep Politik Jawa pandangan Pramoedya. Bahwa ada Sembilan point pada kekuasaan. Pertama, jiwa kepemimpinan. Jiwa kepemimpinan merupakan modal dasar dalam konsep politik jawa. Prabwo sudah memiliki jiwa kepemimpinan dalam pencapaiannya dibidang militer. Kedua, menjadi tentara. Menjadi tentara akan membentuk sikap disiplin, dan mengetahui cara berorganisasi, serta jalan untuk menjadi seorang pemimpin atau penguasa. Dalam hal ini pun Prabowo tidak diragukan lagi. Ketiga, membentuk kelompok. Kolompok ini adalah partai partai yang sekarang ada pada era ini seperti GOLKAR, GERINDRA, DEMOKRAT dsb, dalam hal kelompok Prabowo tentu sudah memilikinya. Keempat, memiliki teman setia. Kelima, modal. Modal identik dengan penguasa sumber daya alam, untuk era sekarang adalah orang orang yang berduit jumbo, masalahnya Prabowo sudah tidak memiliki cukup modal untuk maju dalam pilpres 2019 setelah kekalahnya pada 2 priode. Nah untuk itu Prabowo memilih Sandiaga menjadi pendampinnya, karena sandi mampu berkontribusi dalam pendanaan Pilpres 2019, keenam, jaringan. Jaringan merupakan cara mendapatkan kekuasaan dengan mendekati penguasa, untuk relavansinya saat ini adalah dengan membentangkan sayap-sayap politik dengan partai-partai lain demi mengumpulkan dukungan yang lebih besar, tapi saat ini Prabowo menyampingkan hal itu karena ia lebih mengutamakan logistic. Ketujuh mengalahkan lawan politik, tentu ini bisa terlihat setelah terlaksanakannya pilres. Kedelapan kekuasaan, ini merupakan tujuan utama dari konsep politik Jawa menurut perspektif  Pramoedya. Terakhir, stabilitas kekuasaan, ini adalah upaya mempertahankan kekuasaan.

*penulis merupakan mahasiswa mata kuliah ilmu Politik, semester 1 jurusan Ilmu komunikasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun