Mohon tunggu...
Liza Febrienty
Liza Febrienty Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Aku berpikir maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kajian Hukum Pemberhentian Kepala Sekolah

30 Desember 2015   11:36 Diperbarui: 30 Desember 2015   11:58 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KAJIAN HUKUM PEMBERHENTIAN KEPALA SEKOLAH

Pemberhentian jabatan Kepala Sekolah di Indonesia khususnya di Jakarta menjadi isu yang menarik dan “ramai”. Jumlah kepala sekolah yang diberhentikan “mendadak” mencapai  puluhan orang dan masih akan disusul pemberhentian dalam jumlah lebih besar lagi pada waktu yang akan datang.  Apabila lembaga Pengadilan PTUN tidak menguji, mengoreksi dengan teliti Putusan Pejabat Tata Usaha Negara serta tidak segera menghentikan keputusan pemberhentian yang sewenang-wenang tersebut, maka hal  ini akan mengganggu kedamaian dan kesejahteraan pendidik di tanah air.

Bagi warga masyarakat Indonesia yang sedang berada di era keterbukaan informasi publik ini semakin kreatif dalam berpikir, dapat membedakan suatu perbuatan pemberhentian sesuai norma atau tidak. Meskipun masyarakat tidak baca SK pemberhentian, tidak terpaku pada peraturan apapun yang mendasari keputusan mengeluarkan obyek sengketa, akan tetapi Kami anggota masyarakat telah memiliki pemetaan untuk menilai kesesuaian perbuatan yang dimaksud dengan hukum moral dan perasaan keadilan masyarakat. Mengingat Kepala Sekolah yang diberhentikan adalah aktivis pendidikan yang juga menjabat Sekjen FSGI, Retno Listyarti, yang dikenal publik kreatif mengeluarkan pendapat atau pikiran melalui media cetak, online dan elektronik.

FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) telah berjuang perihal UN (Ujian Nasional) melalui dialog dengan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang dipimpin M. Nuh yang lalu tapi belum berhasil. Namun, di era Presiden Jokowi dengan Mendikbud (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) Anies Baswedan usulan untuk menghentikan kebijakan UN sebagai penentu kelulusan siswa dan masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri) direspon dan dikabulkan. Wujud perjuangan dilakukan diatas meja dengan cara musyawarah dan turun ke jalan berdemonstasi yang diliput oleh media masa.

Bagi pendidik tanah air, Retno Listyarti  identik dengan pejuang dalam bidang pendidikan, yang jujur dan ikhlas memperjuangkan kehendak dan kebutuhan masyarakat yang trauma,rugi akibat kebijakan UN dijadikan penentu lulus. Seseorang yang dianggap masyarakat berjasa dalam bidang pendidikan,untuk standar berpikir rasional sangatlah sulit menerima alasan pemberhentian karena pelanggaran hukum disiplin yang luar biasa. Yang masyarakat ketahui selama ini ybs melakukan hal yang biasa dan memenuhi standar tugas yang biasa dan wajar,sekarang Ia diberhentikan dengan dalil ada pelanggaran hukum yang luar biasa, misalnya meninggalkan tugas sebentar saat UN dan tidak ada akibat  yang ditimbulkan luar biasa bagi kepentingan pelaksanaan UN di sekolah yang dipimpinnya. Kami menilai tingkat perbuatan kesalahan sepele tetapi hukuman yang diberikan tidak sepele melainkan luar biasa dan berat,inilah keadaan tidak adil yang dipertanyakan publik tanah air.

Guru ,Dosen,Peneliti, Pemerhati pendidikan dan masyarakat peduli hukum dan keadilan saat ini sedang menanti penjatuhan putusan PTUN Jakarta, terhadap perkara No. 165/2015/PTUN “Retno Listyarti Melawan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta”, yang diajukan oleh salah seorang Kepala Sekolah berani dan kreatif Retno Listyarti, yang mengajukan gugatan semata-mata untuk  menegakkan hukum moral,keadilan dan tetap memperhatikan legalistik positivisme yang sudah diterima masyarakat Indonesia.

Hakim PTUN harus hati-hati,jeli dan teliti dalam menyelesaikan kasus pemberhentian yang menarik perhatian dan ditunggu keputusannya oleh publik. Kami masyarakat sesungguhnya  memahami persoalan, mengukur dari standar moral,sosial masyarakat, sesuatu perbuatan patut atau tidak patut. Putusan Hakim yang ditunggu masyarakat saat ini adalah menjadikan kasus pemberhentian Kepsek ini sebagai contoh kasus dan berencana melahirkan putusan profesional ,bermutu yang akan menjadi Yurisprudensi.

Undang-Undang otonomi daerah yaitu UU No 32 Tahun 2004 dibuat tidak untuk melahirkan Raja Kecil di daerah yang dapat bertindak sewenang-wenang memberi hukuman terhadap guru/Kepsek yang dianggap melanggar disiplin. Kesalahan itu bukan di dada/perasaan tapi sesuatu yang terukur atau dapat diukur ramai-ramai oleh banyak orang. Menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat di pasal 22 UU tsb yang berbunyi “Pemda menjalankan roda pemerintahan menegakkan keadilan dan pemerataan”.

Apakah hubungan pemberhentian dengan penerapan pasal 22 ? Alasan demi keadilan pada pemberhentian Kepsek tidak dapat diterima oleh masyarakat, pejabat TUN sebagai pelaksana aturan tidak konsisten mentaati aturan, yaitu lalai menggunakan Permendiknas No 28 Tahun 2010 sebagai dasar dan acuan pengambilan keputusannya, padahal peraturan tersebut hanya satu-satunya pedoman memberhentikan jabatan Kepala Sekolah.

Telah diatur pada pasal 14 Permendiknas yang dimaksud sebelum penerbitan SK pemberhentian wajib terlebih dahulu mengeluarkan putusan hukuman disiplin minimal sedang dan/atau berat sebagaimana amanat PP No 53 Tahun 2010. PP No 53 Tahun 2010 tidak pernah mengatur kriteria pemberhentian Kepala Sekolah,akan tetapi Permendiknas tunduk dan menghargai PP No 53 Tahun 2010 sebagai prasyarat pemberhentian Kepala Sekolah. Mengambil keputusan yang berbeda dari maksud dan ketentuan yang berlaku adalah termasuk perbuatan tidak adil,hal tersebut diperkuat oleh pendapat ahli Notonegoro yang menyatakan “sesuatu keadaan dikatakan adil jika sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”.

Apabila pejabat TUN dalam konsiderannya mendalilkan alasan pemberhentian Kepala Sekolah ybs lebih mementingkan organisasi profesi guru FSGI ketimbang menjalankan tugas pokok sebagai Kepsek, maka Hakim sepatutnya memeriksa dan menganalisis perkara PTUN keterkaitan persoalan dan dalil dengan filosofi,metodologi dan sosiologi hukum,untuk menggali akar,latar belakang/penyebab Kepsek diberhentikan dari jabatannya.

UU PTUN yang baru yaitu UU No 30 tahun 2014 memasukkan unsur ada dugaan pelanggaran HAM dalam keputusan TUN,merevisi pasal 53 UU No 5 Tahun 1986 menguraikan alasan keputusan TUN yang dikeluarkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apalagi ada klausul “mementingkan FSGI” ,maka Hakim wajib memperhatikan dan menganalisis keterkaitan persoalan pemberhentian dengan hak Kepsek yang diatur pada UU HAM UU No 39 Tahun 1999 dan UU Guru dan Dosen yaitu UU No 14 Tahun 2005 serta AD/ART FSGI. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat ahli Max Weber yang menyatakan “ Kompleks subyektif makna dalam tindakan “,artinya dalam menyelesaian persoalan hukum wajib mempertimbangkan dua sisi yaitu unsur obyektif dan subyektif. Unsur obyektif berkaitan dengan aturan dasar keputusan TUN dan unsur subyektif berkaitan dengan hak individu yang diatur pada peraturan perundang-undangan yang lainnya.

Memahami hak FSGI harus dimulai dari UU No 14 Tahun 2005 pasal 14,42,43 menguraikan berperan aktif dalam kebijakan pendidikan dan memajukan pendidikan nasional, yang berbanding lurus dengan AD/ART-nya. Organisasi profesi guru ini sekarang berusia 5 tahun, telah lahir,hidup terpelihara dan diterima oleh Pendidik dan masyarakat Indonesia,bahkan pembesar negeri ini Presiden Jokowi tidak ragu menyebut FSGI sebagai sebuah organisasi dalam sambutan tertulis beliau ,saat  HUT PGRI pada 13 Desember 2015 di GBK. Keberadaan dan penerimaan terhadap kehadiran FSGI sesungguhnya tidak terpaku,terbelenggu dengan memperhatikan terbatas pada faktor yuridis legal/tidak,tetapi yang paling pokok organisasi ini telah berjasa dan memberi manfaat serta sangat dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia diantaranya memperjuangkan membebaskan masyarakat dari trauma UN.

Melihat kehadiran FSGI dari segi peran dan manfaat jauh lebih tinggi dan mulia ketimbang melihatnya dari sudut legalitas formal,tetapi faktor yuridis ini tetap diurus dan proses tersebut sedang berjalan. Memandang hukum dan persoalan dari segi kemanfaatan bagi masyarakat sejalan dengan pendapat ahli hukum Prof Subekti,S.H. yang menyatakan bahwa “tujuan hukum adalah mengabdi kepada tujuan negara dan tujuan negara adalah mendamaikan dan mensejahterakan masyarakat”. Perbuatan baik membantu masyarakat yang diuraikan diatas telah dilakukan FSGI secara ikhlas dan terukur.

Penerapan hukum legalistik positivisme menjelaskan hukum itu sebagai dalam Undang-Undang serta lebih mengutamakan aspek yuridis,konsep normatif warisan Zaman Belanda yang mendominankan aspek legal sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika,perubahan pola pikir dan kebutuhan masyarakat saat ini. Yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat plural dan multi kultural adalah penerapan hukum kultur,sosiologi,dan filosofi hukum.

Pemahaman mendominankan aspek yuridis sangat berbahaya bagi perkembangan kultur dan budaya bangsa Indonesia karena akan mendorong hukum ke wilayah yang tertutup,sempit,steril, kaku serta ketinggalan zaman karena tidak sesuai dengan perkembangan pola pikir,kultur,budaya dan kebutuhan masyarakat. Penerapan hukum secara luas diperkuat oleh ahli Sutjipto Rahardjo yang menyatakan “ bahwa ilmu hukum berkembang dari yang terkotak-kotak menuju holistik “.Ini merupakan konsekwensi dari perubahan yang mau tidak mau harus diterima.

Masyarakat yang berada di era keterbukaan informasi saat ini,dapat melihat,mendengar,serta merasakan adanya kesesuaian antara kriteria yang ditetapkan sebelumnya,keputusan yang diambil dan prioritas kebenaran. Keputusan TUN akan bernilai benar apabila secara konsisten melaksanakan kriteria yang teridentifikasi.Hakim harus meneliti ketepatan penggunaan kriteria dalam mengeluarkan keputusan TUN.Pentingnya kriteria dan kebenaran pada setiap pengambilan keputusan diperkuat oleh pendapat ahli Stephen P.Robbins yang menyatakan “ pengambil keputusan dituntut mempertimbangkan kriteria yang diidentifikasi sebelumnya sehingga mampu memberi mereka prioritas yang benar dalam keputusannya “.

Pengalaman pahit masa lalu melewati fase perubahan sistem pemerintahan menganut faham demokrasi terpimpin dan liberal dengan konfigurasi politik hukum otoriter,waktu itu kita sedang berada pada masa transisi perubahan sistem pemerintahan dari Kerajaan – Republik. Konsep politik hukum otoriter sudah kita tinggalkan dan sekarang bangsa Indonesia tengah berada di era reformasi yaitu alam kebebasan yang bermartabat,memakai konsep konfigurasi politik hukum demokratis dengan indikator bekerjanya tiga pilar demokrasi yaitu peranan partai politik,badan perwakilan,kebebasan pers dan peranan eksekutif (Mahfud MD).

Pemberhentian Kepala Sekolah secara sewenang-wenang memetakan suatu keadaan yang menyimpulkan peraturan hanya ada dalam tulisan tapi tidak ada dalam perbuatan melaksanakan perintah aturan. Kebiasan tidak patuh terhadap peraturan yang berulang terus –menerus akan menggunung dan menjadi hal yang dapat diterima oleh masyarakat khususnya kalangan pendidik tanah air, dalam posisi keterpaksaan,trauma,dan ketakutan yang luar biasa. Keadaan kebiasaan pejabat TUN yang diuraikan diatas tanpa disadari terjadi pergeseran nilai,moral,kultur,dan pola pikir tidak kreatif. berpotensi mengubah sistem pemerintahan dari demokratis menjadi otoriter. Perbuatan buruk pejabat TUN tanah air yang Kami uraikan diatas,masyarakat meminta dihentikan oleh lembaga Pengadilan dengan melahirkan putusan yang bermutu.

 Dari uraian yang Kami paparkan diatas dapat disimpulkan :

Pejabat TUN yang memberhentikan Kepala Sekolah yang tidak menggunakan Permendiknas No 28 Tahun 2010 termasuk dalam klasifikasi tindakan yang sewenang-wenang

Perbuatan Kepala Sekolah menyisihkan sebagian kecil waktunya menjalankan tugas organisasi FSGI amanat Undang-Undang dan AD/ART,sepanjang tidak berdampak buruk bagi penyelenggaraan UN tidak termasuk perbuatan bersalah dan pantas dihukum berat,karena Ia masuk dalam kategori dimaafkan oleh Undang-Undang.Hal pemaafan telah diatur dalam ketentuan hukum yang menyatakan ada 3 kriteria seseorang dikatakan bersalah yaitu sengaja,lalai,dan tidak ada alasan pemaaf

Perbuatan ikhlas memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam bentuk berpartisipasi memperbaiki kebijakan UN dilindungi oleh UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,AD/ART,UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM,dan UU No 17 Tahun 2013 tentang ORMAS

Berdasarkan kajian hubungan perbuatan kreatif tampil sesaat mengemukakan pendapat soal UN melalui media massa ditinjau dari aspek yuridis,filosofi,sosiologi hukum dan kultur masyarakat sesungguhnya termasuk perbuatan terpuji dan patut dimaafkan.

 

                                                                               Jakarta,25 Desember 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun