Uzuzozo, sebuah desa terpencil di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, terletak di antara perbukitan hijau dengan akses yang sangat terbatas. Jalan berbatu yang terjal menjadi satu-satunya penghubung desa ini dengan dunia luar, membuatnya hampir terisolasi dari kemajuan zaman. Namun, tujuh tahun lalu, seorang bidan muda bernama Theresia Dwiaudina Sari Putri, yang akrab disapa Dinny, datang untuk mengubah nasib desa ini.
Dinny tidak datang untuk mencari kemewahan atau kenyamanan, melainkan untuk menjawab panggilan hidupnya. Meskipun terlahir di Desa Kekandere yang lebih dekat dengan pusat kota, Dinny memilih untuk mengabdi di Uzuzozo, desa yang lebih membutuhkan. Pada tahun 2017, ketika pertama kali menjejakkan kaki di desa ini, jalanan masih tanah penuh kerikil, hanya bisa dilalui motor dengan kesulitan besar. Selain itu, fasilitas dasar seperti listrik, air bersih, dan sinyal telekomunikasi hampir tidak ada.
Tantangan pertama yang dihadapi Dinny adalah kondisi kesehatan ibu dan anak yang memprihatinkan. Banyak ibu hamil yang melahirkan dengan bantuan dukun beranak, sementara stunting (gizi buruk) menjadi masalah utama yang mengancam tumbuh kembang anak-anak di desa tersebut. Sebagai bidan pertama di desa, Dinny merasa panggilannya adalah memberikan perubahan yang nyata, meskipun dengan peralatan terbatas.
Salah satu momen dramatis yang dihadapi Dinny adalah ketika seorang ibu hamil dengan pembukaan lengkap harus melahirkan di pinggir jalan, di bawah hujan, karena jembatan yang harus dilalui hanya cukup untuk sepeda motor. Dengan penuh keberanian, Dinny membantu persalinan tersebut, dan bayi perempuan tersebut lahir selamat di tengah malam yang gelap. Kejadian ini menjadi titik balik yang semakin menguatkan tekad Dinny untuk mendidik warga mengenai pentingnya pelayanan kesehatan yang layak.
Selain membantu persalinan, Dinny juga mulai mendata ibu hamil dan balita, serta memberikan edukasi mengenai kesehatan. Seiring waktu, warga desa mulai mempercayai Dinny. Banyak ibu hamil yang akhirnya memeriksakan kandungan mereka ke Puskesmas, dan kelahiran di fasilitas kesehatan menjadi hal yang lebih umum. Dinny juga memperkenalkan program keluarga berencana (KB), yang mendapatkan respon positif dari warga, terutama pasangan usia subur yang sebelumnya tidak pernah berpikir untuk mengikuti program tersebut.
Dinny mengakui bahwa kondisi finansial dan keterbatasan fasilitas menjadi tantangan berat. Gajinya yang berasal dari dana desa sering kali tidak menentu, bahkan terkadang ia harus menunggu berbulan-bulan untuk menerima pembayaran. Namun, berkat dukungan orang tuanya, Dinny tetap bertahan. Kepala desa bahkan memberikan hadiah seekor anjing sebagai simbol bahwa Dinny bisa tinggal dan bekerja di desa itu.
Perjuangan Dinny mulai membuahkan hasil. Angka kematian ibu dan anak yang dulu tinggi, kini berhasil menurun drastis. Lebih dari 50% pasangan usia subur di Uzuzozo kini mengikuti program KB, dan stunting yang dulu tinggi kini berkurang signifikan. Pengabdian Dinny mendapatkan perhatian lebih luas, hingga ia meraih penghargaan SATU Indonesia Award pada 2023, sebuah penghargaan yang diberikan kepada pemuda yang berkontribusi nyata bagi masyarakat.
Kini, setelah tujuh tahun mengabdi, Dinny merasa bangga melihat perubahan besar di Uzuzozo. Masyarakat sudah bisa mengakses pelayanan kesehatan yang lebih baik, ibu hamil tidak lagi melahirkan di rumah tanpa pengawasan medis, dan anak-anak mendapat imunisasi serta gizi yang lebih baik. Bagi Dinny, keberhasilan ini membuktikan bahwa meskipun dimulai dari tempat yang sangat terpencil, dedikasi dan kerja keras bisa membawa perubahan besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H