Saya suka buku...
Dan saya sudah suka membaca buku sendiri sejak umur 5 tahun. Beberapa buku saya anggap sakral. Salah satunya adalah Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer.
Pertama kali saya membaca Bumi Manusia di tahun 1999. Saya ingat buku itu tak lepas dari genggaman dan semakin terhanyut ketika membaca ketiga buku berikutnya. Saya yang sebelumnya tidak kenal dengan bangsa sendiri akhirnya "melek", tak menyangka... langsung jatuh cinta. Perasaan saya bergejolak dan meluap-luap, khas mahasiswa dengan segala idealismenya. Sejak saat itu, saya mulai mengumpulkan karya-karya dari sastrawan besar yang hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara itu.
Meski karya-karya Pram telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa asing dan bahkan menjadi bahan ajar wajib di sekolah-sekolah dan universitas luar negeri, tapi sayangnya tidak bernasib baik di negeri sendiri.Â
Peredaran Tetralogi Buru pernah dilarang selama beberapa masa karena dianggap sangat berbahaya. Pegawai di Kedubes Australia yang menjadi penerjemah dalam Bahasa Inggris pun dikembalikan ke negaranya karena menerjemahkan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, nama Pram tidak sekalipun tercatat sebagai referensi...konon berharap karyanya dikaji dan didiskusikan (mimpi aja lu!)
Menyedihkan, tapi tidak heran. Inilah dosa besar pendidikan Indonesia. Murid-murid cukup menghapal nama sastrawan, judul buku dan angkatannya saja.Â
Pembelajaran sastra hanya sejauh teori dan sebatas bagian kulit saja. Minat baca yang rendah, guru-guru Bahasa Indonesia yang tidak benar-benar memahami kesastraan ditambah pelabelan "Pram-komunis" yang masih melekat dalam alam bawah sadar, membuat karya satu-satunya penulis Indonesia yang pernah menjadi kandidat penerima Nobel Sastra itu semakin asing di negeri sendiri.
Lalu...boom! Orang itu muncul. Seorang Hanung Bramantyo yang katanya pernah mendatangi langsung Pram lalu mengungkap mimpinya untuk memfilmkan Bumi Manusia dan disambut tawa oleh yang bersangkutan.
Sayang usia Pram tidak sepanjang umur Chigusa Tsukikage sebagai satu-satunya pemegang hak pementasan "Bidadari Merah" dalam manga Topeng Kaca karya Suzue Miuchi, sehingga bisa memilih siapa yang akan mementaskan kembali karya tersebut di antara banyak orang yang begitu terobsesi.
Sekarang Pram telah tiada. Entah dia terisak atau terbahak di alam sana mengetahui keluarganya mematok harga 5 milyar dan menjualnya kepada Falcon Pictures sehingga mimpi orang itu dapat terwujud. "Denger-denger sih gitu. Tidak tahu pastinya. Tapi, rencananya 21 anak cucu Pram akan umrah bersama. Itu kan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Itu juga membuktikan kalau Pram dan keluarganya tidak ateis,"Â kata Soesilo Toer, adik Pram berkelakar.
Saat ini Bumi Manusia menjadi milik semua orang dan tidak lagi menjadi monopoli kalangan terbatas. Konon di Gramedia, Bumi Manusia tiba-tiba menjadi buku yang paling dicari. Dalam akun twitternya (@commaditya) Putu menulis: "Selama berpuluh tahun kalian bikin seminar, bedah buku dll mengajak orang-orang untuk membaca Bumi Manusia dan sekarang Iqbal bisa bikin orang-orang baca BM dengan sekali kedip. Iqbal >>> Kalian semua."
"Makjleb!"Â
Saya sendiri juga masih berada dalam dilema. Di satu sisi saya berusaha optimis, "adil sejak dalam pikiran". Setidaknya generasi Z jadi tahu keberadaan Pram, karena berharap sekolah meningkatkan apresiasi dan kecintaan karya Pram, tenggelam di dalamnya, menyelaminya, merasakan getaran jantungnya dan membedah sampai ke tulang-tulangnya adalah hil yang mustahal seperti mengharap gajah terbang.Â
Meski netizen berkomentar: "lagian Pramoedya itu siapa sih? Cuman penulis baru terkenal kayaknya.. masih untung dijadiin film, dan si Iqbal mau meranin karakternya.. biar laku bukunya"...ditambah komentar-komentar dangkal lainnya dari anak jaman sekarang, tetapi kalau bisa membuat mereka mulai membaca, kenapa tidak?Â
Dan bukannya karya-karya Pram yang lain dapat ikut terangkat kalau filmnya bisa diterima bahkan oleh fans fanatiknya Iqbaal "Minke" Ramadhan sampai bulu-bulunya ketimbang pemutaran film Tan Malaka yang bahkan ditolak di Padang, kampung halamannya sendiri? Apalagi skenario digarap oleh Salman Aristo yang cukup baik menyusun plot berdasarkan penilaian saya pribadi saat mengikuti "Creative Writing for Film Workshop"-nya di UWRF 2007.
Begitulah saya yang positif mencoba mengambil hikmahnya.Â
*tarik napas dalam-dalam...hembus...
Tapi kemudian si saya yang masih sulit menerima kenyataan ikut berpendapat.Â
Bahwa Bumi Manusia akan digarap oleh orang itu yang telah menurunkan kualitas tokoh-tokoh besar sekelas Soekarno, Ahmad Dahlan dan Kartini melalui filmnya yang digambarkan hanya sekedarnya tanpa observasi mendalam.
Orang yang sama yang begitu ahli membuat efek dramatis dan juga menganggap Bumi Manusia hanya sebatas hubungan cinta Minke dengan Annelies. Orang yang sama yang menganggap Bumi Manusia merupakan novel yang sangat ABG dan lebih ringan ketimbang "Ayat-Ayam Cinta".Â
Emosi saya pun ikut tersulut seperti para pengagum Pram lainnya. Mengutip perkataan Ariel Heryanto, "sekejam-kejamnya Kejaksaan Agung zaman Orde Baru yang melarang BUMI MANUSIA, kayaknya tidak lebih kejam ketimbang pernyataan-pernyataan sutradara film BUMI MANUSIA yang menyiksa batin para pecinta novel itu."
"Arrrghhh...sungguh melelahkan!"
Ketimbang perasaan saya terus menerus naik turun seperti roller coaster, maka saya mencoba untuk "sabar sejak dalam pikiran" dan berusaha menghibur diri dengan ungkapan standar bahwa "buku dan film adalah dua hal yang berbeda, tidak bisa disamakan."
Semoga jantung saya kuat & tetap berdetak sampai Bumi Manusia kembali tenggelam. Aamiin.Â
------------------
Sumber Referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan 14.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI