Mohon tunggu...
Liza Irman
Liza Irman Mohon Tunggu... -

Saya suka menulis, itu saja...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kenapa Orang Lebih "Hepi" Tinggal di Bali?

12 Oktober 2017   19:12 Diperbarui: 14 Oktober 2017   15:34 21636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenapa Orang Lebih Hepi Tinggal di Bali?

Belakangan banyak yang share artikel "Orang Bali Lebih Bahagia Dibanding Rata-rata Orang Indonesia" (tirto.id).

Terus terang, saya baca artikelnya malah pusying karena terlalu banyak angka-angka, hahaha. Tapi sebagai pendatang, saya pribadi memang lebih hepi tinggal di Bali ketimbang di Bandung tempat saya kuliah atau di Jakarta, kota kelahiran saya sampai SMA.

Pertama kali pindah ke Bali tahun 2004, saya langsung jatuh cinta dengan Bali. Padahal sebelumnya saya sudah beberapa kali ke Bali sebagai turis. Tapi cintanya beda. Dan meski di tahun 2010 saya sempat pindah ke Karawaci-Tangerang selama 3 tahun, saya tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan yang tidak bersahabat. Saya tidak nyaman & tidak betah tinggal di sana sehingga memaksa suami bagaimanapun caranya untuk pindah ke(m)bali. *ampuni istrimu yang tidak sholehah ini,)

Kenapa ya, orang yang tinggal di Bali seperti saya merasa lebih bahagia?

Mungkin karena BALI:

  • Banyak Libur.
  • Banyak piknik.
  • Banyak tempat piknik.
  • Dekat dengan alam.
  • Hidup santai, nggak ngoyo.
  • Jarang macet (tergantung jam pergi-pulang kerja/sekolah, tergantung musim & tempat wisata standar).

Tempat yang nyaman untuk membesarkan anak. Mereka belajar mengenal beragam manusia, dari bebagai kebiasaan, bahasa, warna kulit, warna mata, bentuk rambut yang beraneka ragam, mereka belajar bahwa manusia itu macam-macam, bukan cuma satu jenis saja atau satu keyakinan saja.

Di sekolah maupun di rumah, anak-anak masih bermain permainan tradisional. Anak-anak juga punya banyak pilihan tempat bermain , belajar & menjelalah. Ada taman, pantai, hutan, gunung, rawa dan semua nggak terlalu jauh dari tempat tinggal kita. Bonusnya, mall juga tersedia.

Di sini banyak sekali kegiatan budaya. Ibaratnya tiap sudut ada festival ini itu, workshop ini itu, macam-macam pagelaran musik yang ramah anak & meski gratis, nggak rame/membludak kayak pasar malam. Belum lagi ditambah dengan kegiatan/upacara adat Bali yang unik kayak Saraswati, Melasti, Nyepi, Galungan Kuningan, Ngaben, Tumpek Landep, Megibung dan masik buanyakkk lagi.

Nggak perlu usaha keras buat keliatan gaya atau beli barang ini itu buat gengsi, karena tukang teh botol aja, ternyata pemilik beberapa hotel. Tukang kepang2 di pantai, punya banyak tanah yang disewain buat kafe2. Mbak2 yang keliatan lusuh & selalu pakai motor butut, taunya pengusaha SPA yang sudah melebarkan usahanya sampai Eropa, dsb dsb dsb. Orang-orang tipe begini mah, bertaburan di Bali.

Nggak perlu resah diceramahin panjang lebar, di-judge, diomongin orang atau mendapat pandangan sinis cuma karena cara berpakaian, profesi pelacur/gigolo, atau karena LGBT, nikah beda agama, dll. Karena di sini berlaku kebiasaan: lu lu, gue gue. Selama lo nggak ganggu, nggak ngerugiin... terserah aja lo itu apa & mau ngapain. Mungkin karena di sini orang2 jarang ada yang usil. Jarang ada yang ngurusin urusan orang lain. Jarang maksain orang lain harus sama seperti standar dirinya. Jadi tetap santai, bergaul & berbaur bersama dalam harmoni warna warni dan nggak takut "ketularan" --emang penyakit menular?!

Nggak perlu takut imannya rusak atau takut pindah keyakinan cuma gara-gara Pura bertebaran, orang Bali sembahyang taruh canang dimana-mana, di depan rumah, di persimpangan jalan, di atas etalase, di atas rak buku, di atas meja, dll. Kebiasaan orang Bali & kekusyukan mereka dalam beribadah malah kadang mempertebal iman, karena jadi sering merenung mengenai kehidupan spiritual. Juga jadi mikir, kapan gue terakhir ngobrol sama Tuhan ya? Kapan terakhir gue sholat ya?

Nggak perlu takut tempat ibadah dibakar atau disuruh bubar pas lagi rame-rame ngadain ritual keagamaan. Yang ada malah pecalang ikut bantu menertibkan jalan biar nggak macet.

Buktinya tiap abis sholat jumat dekat rumah saya, kala jalanan penuh dengan manusia, sepeda, motor, mobil yang bercampur baur, pecalang bantu menertibkan.  Tiap abis bubar Sholat Tarawih, pecalang bantu menertibkan. Tiap abis bubar sholat Ied, pecalang bantu menertibkan juga.

Dan apakah pecalang itu? Pecalang semacam polisi adat yang cuma ada di Bali. Karena mereka orang Bali, seharusnya tugasnya menjaga ketertiban & kelancaran upacara adat Bali. Tapi pada kenyataannya, ritual keagamaan apapun selalu ada pecalang dengan baju hitam & kamen poleng yang ikut membantu.

Tambahan dari anak sulung saya: "Di Bali, kita nggak takut hitam... karena di sini hitam itu eksotis, bukan dosa"

hahahaha... tau aja zaman sekolah/kuliah emaknya sering diledek orang karena berkulit gelap.

Ada yang mau nambahin?

---

Tulisan di atas ditulis secara pribadi dari perasaan & pandangan pribadi. Bukan mewakili pendatang di Bali, pendatang yang menikah dengan orang Bali atau orang Bali itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun