Sina berumur 23 tahun. Sepuluh tahun lebih muda dari Runi. Ia hidup sebatang kara setelah tsunami menerjang Kepulauan Nias tahun 2005 silam. Runi senang bercakap-cakap dengan Sina. Binar mata Sina selalu menimbulkan rasa iri dalam hati Runi. Bagaimana mungkin seorang Sina bisa menjalani hidup jauh lebih bahagia daripadanya?
      Bahagia? Runi mendesah pelan. Betapa asing kata-kata itu baginya kini. Bahagia seolah menjauh darinya, ketika vonis itu menghantam kesadarannya. Meluruhkan seluruh harga diri dan keyakinan dirinya. Ia terpuruk sesal dan tak lagi sanggup menatap dunia. Dan di sinilah ia berada di tengah keterasingan yang damai. Mencoba melupakan siapa dirinya. Melupakan persoalan dan rasa sakit yang mendera perasaannya.
      Sepuluh tahun ia membina kehidupan dengan Raka. Satu-satunya lelaki yang mampu menggetarkan hatinya. Lelaki yang mampu membuatnya tertawa bahagia. Dan mereguk manisnya pernikahan. Kebersamaannya dengan Raka nyaris sempurna bila saja tidak ada kegelisahan yang mengganggu tidur-tidur malamnya.
      Semakin lama kegelisahan itu semakin nyata bentuknya. Hingga suatu hari Raka tanpa sengaja Raka melontarkan keinginannya untuk memiliki anak. Keturunan yang tumbuh dari benih yang ditanamnya di rahim Runi. Keinginan dan kerinduan yang sama dengan  yang Runi rasakan bila melihat teman-teman sebayanya menimang bangga buah hati mereka.
      Keinginan yang mengantarkannya pada kenyataan pahit, bahwa kondisi rahimnya mengalami kelainan kongenital, kelainan bawaan, yang tidak memungkinkannya mengandung dan melahirkan seorang anak dari rahimnya.
      Kenyataan pahit inilah yang membuat Runi menjejakkan kakinya ke Pantai Turelo. Ia tak sanggup melihat kekecewaan Raka. Ia tak sanggup menanggung rasa bersalah atas ketidakmampuannya memberikan keturunan pada Raka. Sepuluh tahun sudah mereka membina dan mereguk kebahagiaan, Runi merasa tak adil bila tidak mengizinkan Raka memiliki anak dari perempuan lain. Anak yang akan meneruskan garis keturunan Raka, pewaris tunggal kerajaan bisnis di tatar pasundan. Bisnis berbasis holtikultura yang maju pesat di bawah kepemimpinan Raka Rahardian.
      Sungguh, itu bukan keputusan yang mudah. Runi membenci keputusan itu.  Ia melarikan diri setelah membuat keputusan dan meninggalkan sepucuk surat untuk Raka. Keputusan yang membuatnya kehilangan segala-galanya, termasuk dirinya sendiri.
*
Mata Runi mengikuti gerakan lincah tangan Sina yang mengatur tumpukan ranting-ranting kering dalam sebuah lubang di tanah berpasir. Di atas ranting-ranting itu Sina meletakkan dua bungkus daun pisang sebelum kemudian membakar dan menimbuni ranting-ranting tersebut dengan pasir-pasir pantai. Tak lama berselang, asap-asap tipis menyeruak keluar dari timbunan pasir tersebut, menguarkan aroma yang segera saja meneteskan air liur Runi.
      Sina kembali tersenyum melihat wajah Runi yang tak sabar. Dan senyumnya semakin lebar ketika melihat Runi melahap nikmat hidangan yang dibuatnya.
      "Apakah kamu selalu sebahagia ini, Sina?" tanya Runi setelah selesai menyantap bungkusan Silio Guro miliknya.