Mohon tunggu...
Money

Bahaya Berjudi dalam Islam

13 Mei 2017   18:03 Diperbarui: 13 Mei 2017   18:29 14476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahaya berjudi dalam islam

Kata “maisir” dalam bahasa Arab yang artinya adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja, oleh karena itu disebut dengan berjudi. Maysir juga dikatakan mewajibkan menyerahkan harta bagi yang kalah dan memungut harta bagi yang menang. Bagi sebagian orang, judi itu hanya sebagai hiburan, bahkan sering ada anggapan bahwa judi itu diperbolehkan, apalagi dalam kondisi masyarakat biasa yang menganggap bahwa judi adalah hal yang sangat biasa dilakukan dan wajar, dalam penjagaan pos ronda malam misalnya, tetapi dalam pandangan al-qur’an judi adalah perbuatan yang terlarang dalam islam, firman pertama dalam QS. Al-baqarah : 219 yang ditunjukkan pada kejahatan ini menyatakan bahwa kejahatan judi itu jauh lebih parah daripada keuntungan yang diperolehnya.[1] Semua bentuk perjudian itu dilarang dan dianggap sebagai perbuatan zalim dan sangat dibenci. Di dalam al-qur’an dan dari dalil- dalil sangat jelas diterangkan bahwa islam menjadikan judi sebagai suatu kesalahan yang serius dan hina apapun bentuk judi, karena termasuk dalam dosa besar dalam islam.

Dewasa ini, banyak transaksi-transaksi yang dilarang dalam islam, yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat luas, seperti halnya perbuatan judi, perbuatan judi sangat diharamkan dan hasil yang diperoleh dari perbuatan judi pun dilarang, hal ini berdasarkan pada QS. Al-maidah ayat 90 yang artinya “hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan”. Sesungguhnya, setiap perbuatan yang sifatnya untung-untungan, baik dengan jalan membeli suatu benda maupun melakukan perjanjian atas suatu yang belum tentu terjadi dengan melakukan “pembayaran” lebih dahulu atau secara berangsur-angsur, termasuk judi atau mengundi nasib.[2] Seperti contoh pada zaman jahiliyah, perjudian dilakukan dengan jalan mengisi mangkok dengan daging kambing yang disembelih atas nama bersama (peserta) untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Mangkok ini berisi 9 buah, tetapi yang berisi hanyalah 6 mangkok, sedangkan sisanya dikosongkan. Setelah mangkok itu digoyang-goyangkan dalam sebuah karung, yang mereka namakan ribabah, kemudian satu-persatu mangkok itu dikeluarkan. Apabila mendapat mangkok kosong, orang yang bersangkutan harus mengganti uang pembelian kambing itu.[3]

Dengan judi, Setan akan semakin membuat manusia lupa dari Allah, dan ibadah yang telah slama ini mereka lakukan serta berbagai ketaatan, perjudian banyak memiliki keburukan dan kerusakan. Judi menciptakan kemalasan dan angan-angan kosong bagi yang melakukan, orang yang berbuat judi biasanya suka bermalas-malasan. Mereka mempunyai tujuan yang sangat mementingkan bagi dirinya sendiri yaitu, menang di atas kekalahan orang lain, padahal dalam al-qur’an telah dijelaskan bahwa “tidak mencari keuntungan diri sendiri, melainkan bagi orang lain” dan salah satu dari sepuluh perintah berbunyi “jangan mengingini apapun milik sesamamu” jadi sangat terlihat jelas bahwa seorang pejudi sangat ingin menang dan berharap orang lain kalah dan kehilangan uangnya. Pada umumnya seorang pejudi adalah orang yang mempunyai sifat tamak, artinya mereka terlalu berlebihan dalam mencintai harta, tidak akan pernah merasa puas akan apa yang telah dia dapat. Banyak diantara mereka yang akhirnya kecanduan dan terus ingin menambah harta kekayaannya.

Judi merupakan transaksi-transaksi yang terlarang dalam islam, tetapi lagi-lagi masih saja terjadi dan akan terus menerus terjadi dan akhirnya sampai menjadi kebiasaan yang tidak mudah untuk ditinggalkan begitu saja, karena jika sudah terlanjur melakukan akan terus ingin mengulanginya dan yang lebih umumnya terjadi pada daerah-daerah kecil. Bentuk-bentuk perjudian yang terjadi dikalangan masyarakat bahkan berbeda-beda sehingga memberi artian bahwa apa yang dilakukan itu bukan sebuah perjudian. Padahal islam menjadikan harta manusia sebagai barang berharga yang dilindungi. Oleh karena itu tidak boleh diambil begitu saja kecuali dengan tukar-menukar seperti yang telah disyariatkan atau dengan sedekah. Banyak dampak-dampak buruk yang terjadi dari perjudian salah satu diantaranya adalah akan terjadi permusuhan dan pertentangan antara pemain-pemain judi, dan apabila salah satu pihak ada yang kalah maka ia cenderung akan kecanduan ingin mengulangi perbuatan judi lagi dengan harapan dapat memenangkan permainan, dan bagi pihak yang menang ia akan merasa ketagihan untuk memenangkan lagi sehingga hasil yang diperoleh akan semakin bertambah banyak. Dan hal itu akan terus terjadi seterusnya. [4]

Akibat yang lain adalah menimbulkan permusuhan antarsesama pemain, jiwa pemain judi bertambah kasar karena bermaksud jahat akan mengalahkan lawan, banyak fikiran, selalu berkeluh kesah karena takut kalah, menyia-nyiakan harta dan kekayaan. Lupa waktu dan lupa kerja. Dan banyak akibat negatif yang terjadi dari perilaku judi tersebut.

Selain ancaman dari dalil-dalil yang menjelaskan bahwa perbuatan judi itu sangat dilarang, dalam hukum negara KUHP pasal 303 juga diterangkan bahwa, ancaman bagi perilaku judi akan dihukum maksimum hukuman penjara dua tahun delapan bulan atau denda enam ribu rupiah.[5]

DAFTAR PUSTAKA

Rahman Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam jilid IV ,(Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,1996)

Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Hukum Keuangan Islam,(Bandung: Penerbit Nusamedia,2007)

Al-hillawi, Muh.Abd. Aziz, Mereka Bertanya Tentang Islam,(Jakarta: Gema Insani Press,1998),

Kolom Cahaya Ilmu-8.

Prodjodikiro Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,(Bandung, R

[1] Rahman Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam jilid IV ,(Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,1996), hlm.140-141

[2] Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Hukum Keuangan Islam,(Bandung: Penerbit Nusamedia,2007),

[3] Al-hillawi, Muh.Abd. Aziz, Mereka Bertanya Tentang Islam,(Jakarta: Gema Insani Press,1998), hal.107

[4] Kolom Cahaya Ilmu-8.

[5] Prodjodikiro Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,(Bandung, Refika aditama,2008), hal 129

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun