Mohon tunggu...
Liyanda Choirani
Liyanda Choirani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Saya Liyanda, seorang mahasiswi dengan hobi mendengarkan musik dan menonton film. Saya menyukai film genre horor. Saya juga suka membaca beberapa artikel dengan tpik yang sedang viral untuk mencari informasi terbaru.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

UU Terkait Perlindungan Lingkungan yang Kurang Berpihak pada Lingkungan

9 Januari 2023   09:30 Diperbarui: 9 Januari 2023   09:37 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cara pandang manusia yang mekanistis terhadap lingkungan hidup dan alam semesta mengakibatkan banyak terjadi krisis dan bencana lingkungan hidup di Indonesia. Upaya perlindungan lingkungan hidup mengalami halangan dan rintangan yang disebabkan karena tidak adanya kesadaran publik dan kesadaran para pembentuk hukum di Indonesia.

Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 belum mengakomodasi perlindungan lingkungan hidup yang ada di Negara Kesaatuan Republik Indonesia. Dalam Konstitusi yang dimiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia masih berorientasi soft antroposentrisme karena menempatkan kepentingan manusia (kata: setiap orang) di atas lingkungan hidup.

Seharusnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat melakukan perubahan yang mendasar dan menyeluruh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup, mulai dari konstitusi hingga peraturan turunan lainnya serta dapat mengakui bahwa lingkungan hidup adalah subjek yang menyandang hak yang diakui oleh konstitusi. Sehingga konstitusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia benar-benar menjadi green constitution

Dalam perkembangan politik hukum dan sejarah perkembangan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup telah mengalami tiga kali perubahan yaitu, pertama, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1977 Tentang Pengelolaan Lingkungan hidup, ketiga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun mirisnya lingkungan hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia masih dipandang sebagai suatu instrumental dari konsepsi umum hak asasi manusia, yaitu manusia atau masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan terjaga kebersihannya.

Lingkungan hidup yang ada di Indonesia masih dibayangi oleh bahaya-bahaya besar seperti perusakan lingkungan yang menyebabkan kehancuran terhadap ekosistem di bumi yang tentunya dapat berpengaruh pada seluruh komunitas ekologi di dalamnya. 

Sebuah pabrik, perusahaan atau perseorangan yang ingin melakukan pertambangan pada suatu tempat diperlukan ijin terlebih dahulu ke pemda atau pemerintah setempat namun setelah hadir UU Minerba kini sudah tidak diperlukan lagi suatu izin sebelum melakukan pertambangan. 

Padahal sebelum adanya UU Minerba, Pemerintah setempat di tiap lokasi mempunyai kewajiban untuk melakukan pembinaan, penyelesaian konflik bahkan pengawasan usaha pertambangan.

Nah pada saat belum adanya UU Minerba ini, pemerintah daerah setempat masih dapat mengambil peran apabila terjadi konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat. Pemerintah setempat dapat berperan menjadi penengah atau mediator dalam hal terjadinya suatu konfliik atau pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak. Jadi ketika terdapat laporan dari warga atau masyarakat setempat dan benar terbukti adanya pelanggaran, maka pemerintah setempat memeiliki wewenang untuk menghentikan sementara bahkan mencabut izin usaha pertambangan (IUP).

Sangat amat disayangkannya dengan diterbitkannya UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Minerba, kini jika terdapat masyarakat yang merasa dirugikan atas ulah-ulah dari perusahaan-perusahaan tambang, baik itu dari segi perusakan lingkungan hidup ataupun konflik sengketa lahan dan konflik-konflik lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup, pemerintah setempat tidak lagi dapat melakukan tindakan apapun. 

Hal tersebut disebabkan karena kewenangan yang berkaitan dengan pertambangan sudah diambil atau diatur oleh pemerintah pusat, dan bukan lagi diatur oleh pemerintah daerah setempat. Jadi saat ini warga atau masyarakat yang mau melakukan protes terkait aktivitas tambang yang ada di daerahnya harus melaporkannya langsung ke pemerintah pusat atau pemerintah provinsi. 

Hal tersebut tentunya sangat menyulitkan karena banyak tempat tempat yang digunakan untuk aktivitas pertambangan yang berada di daerah terpencil dan jauh dari perkotaan, aturan ini sangat jauh dari logika tata Kelola pemerintahan yang baik, dikarenakan masyarakat yang tinggal di wilayah sekitaran pertambangan sudah tidak bisa berbuat apa-apa ketika lingkungannya rusak dikarenakan ulah perusahaan tambang.

Bagaikan tertimpa sial berkali-kali, masyarakat daerah yang dirugikan oleh berbagai aktivitas perusahaan tambang yang berulah merusak lingkungan hidupnya bukan hanya tidak dapat melapor ke pemda. 

Mirisnya saat ini kondisinya diperparah dengan adanya Pasal yang berbunyi bila terdapat masyarakat yang mencoba mengganggu aktifitas pertambangan dalam bentuk apapun bisa dilaporkan balik oleh perusahaan dan dijatuhi pidana, bahkan denda hingga sebesar 100 juta rupiah, hal tersebut diatur dalam Pasal 162 UU Minerba.

Aturan mengenai pertambangan yang sangat-sangat tidak masuk akal ini sangat mulus dan bahkan diapresiasi oleh Presiden, padahal hal ini terjadi ditengah maraknya ketidakadilan dan kriminalisasi yang banyak sekali dilakukkan oleh perusahaan terhadap warga atau masyarakat sekitaran pertambangan. Masyarakat sekitaran tambang kini bakalan dikeruk dan dirampok kekayaan alamnya melalaui UU Minerba yang baru ini, bahkan mereka yang mencoba menolak atau protes akan dikenakan pidana oleh konglomerat tambang.

Perusahaan-perusahaan tambang, jika mengacu pada UU No. 4 Tahun 2009 wajib melakukan semua kegiatan reklamasi dan kegiatan pascatambang sekaligus menyetor dana jaminan reklamasi dan pascatambang. Namun nyatanya meskipun terdapat aturan seperti itu, di lapangan praktiknya masih banyak terjadi pelanggaran pembiaran lubang-lubang bekas tambang batubara yang terlihat terbuka lalu menjadi danau raksasa, bahkan menelan korban jiwa. 

Bukannya mempertegas aturan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang, alih-alih mempidanakan perusahaan yang tidak memperbaiki lahan bekas tambang, ajaibnya pemerintah justru membuat aturan baru yang membebaskan kewajiban pengusaha tambang perusak lingkungan dengan jalan merubah isi Undang-Undang. 

Dapat kita lihat bersama pengaturan yang memperbolehkan kewajiban perusahaan dalam perbaikan lahan bekas tambang sekarang ini cukup mengerjakan salah satu kewajiban perbaikan saja dengan kata lain, perusahaan dapat dengan bebas memilih antara melakukan kegiatan Reklamasi atau Kegiatan Pascatambang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun