Sejarah Singkat tentang Gunung Sumbing
Gunung Sumbing merupakan tempat yang ingin aku kunjungi sejak lama. Jika ditanya mengapa aku sangat ingin pergi ke sana, aku pun tidak mengetahui apa faktornya. Mungkin karena namanya Gunung Sumbing? Entahlah, aku hanya merasa Gunung Sumbing memiliki keindahan yang menakjubkan. Gunung Sumbing adalah gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa dan gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah. Gunung Sumbing memiliki ketinggian 3.371 MDPL.Â
Kukira beberapa di antara kalian ada yang bertanya-tanya, kenapa namanya Gunung Sumbing? Jadi, singkatnya ada sebuah legenda yang menceritakan tentang dua orang kakak beradik.Â
Naasnya, sang kakak ternyata lahir dalam kondisi bibir sumbing berbeda dengan sang adik yang terlahir normal. Seiring berjalannya waktu, sang kakak cukup sering mendapat hinaan dari orang-orang sekitar. Bapak dari kakak beradik itu pun tidak tega melihat sang kakak dihina, ia pun mengubah sang kakak menjadi sebuah gunung, kemudian disebutlah Gunung Sumbing.
Melihat sang kakak yang dirubah menjadi gunung, sang adik pun ingin mengikuti jejak sang kaka. Sang adik meminta kepada bapaknya untuk mengubah dirinya menjadi gunung seperti kakaknya.Â
Bapaknya pun menyetujui hal tersebut, kemudian muncul Gunung Sindoro. Oleh karena itu, banyak orang yang berkata bahwa Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro terlihat mirip rupanya, mungkin karena pada legenda yang beredar mereka adalah kakak beradik. Itulah sekilas cerita menarik mengenai legenda Gunung Sumbing yang menyebar dari mulut ke mulut.
Bulatkan Tekad untuk Bertualang
Aku pergi ke Gunung Sumbing bersama dengan teman-teman open trip yang sangat baik dan ramah pada 10-11 Februari 2024. Kami terdiri dari 18 orang yang meliputi, 15 peserta dan 3 tim open trip. Mereka semua yang bersamaku pada saat pendakian. Bisa dibilang, kami merupakan sekumpulan orang asing yang dipertemukan untuk sebuah tujuan yang sama.Â
Mulanya aku cukup takut untuk mengikuti open trip sendirian tanpa didampingi teman yang sudah aku kenal sebelumnya, namun pada saat itu pikiranku sedang dilanda gundah gulana. Aku merasa bahwa hidupku tidak akan lama lagi, dan jika aku tidak segera pergi, maka aku tidak akan pernah pergi ke sana.
Pemikiran itulah yang memacu diriku untuk berani mengambil tindakan, walaupun sebenarnya itu bukan pemikiran yang baik. Aku memulai perjalanan ini dari Stasiun Sukabumi menaiki kereta hingga Stasiun Parungkuda, lalu dari sana aku dan tim dari open trip tersebut menaiki mobil elf menuju beberapa titik kumpul sembari berjalan mengarah ke Jawa Tengah.
Aku menghabiskan uang sebanyak Rp 600.000 untuk mendaftar open trip tersebut, namun aku tidak mengetahui harga pasti dari Simaksi, karena itu semua telah diurus oleh tim open trip.Â
Lamanya perjalanan yang ditempuh dari daerah Sukabumi kurang lebih 14 jam hingga tiba ke rumah singgah. Seluruh peserta beserta tim open trip pun beristirahat sejenak dan mandi sebelum memulai perjalanan menuju basecamp. Setelah waktu Sholat Dzuhur kami pun pergi meninggalkan rumah singgah menuju ke basecamp.
Kisah Pendakianku
Jalur pendakian yang aku ambil ialah Jalur Garung, jalur ini memiliki ciri khas dari para ojek yang berkendara dari basecamp hingga ke pos 1 atau pos 2 maupun sebaliknya. Hampir semua ojek yang "mangkal" di Gunung Sumbing menggunakan motor trail untuk mengantar para penumpang. Menaiki ojek ini merupakan sensasi yang sangat menyenangkan dan menegangkan bagaikan menaiki wahana di Dunia Fantasi. Tarif ongkos dari basecamp hingga pos 1 (atau pun sebaliknya) hanya Rp 30.000 saja.
Aku mengawali perjalanan dari basecamp ke pos 1 dengan mengendarai ojek, kemudian selanjutnya berjalan kaki dengan penuh pengorbanan tenaga. Jalur pendakian dari pos 1 hingga pos 2 masih terbilang cukup landai. Jika diukur dengan waktu, dari pos 1 hingga pos 2 memakan waktu kurang lebih 1 jam, namun pendakian yang sebenarnya dimulai dari pos 2 hingga menuju puncak. Perjalanan dari pos 2 hingga pos 3 memakan waktu kurang lebih 2 jam, kemudian dari pos 3 hingga pos 4 memakan waktu kurang lebih 1 jam.
Tentunya perjalanan hari pertama tidak langsung menuju puncak, pada hari pertama biasanya para pendaki berjalan hingga camp area, kemudian berkemah di sana selama satu malam. Setelah itu, baru melanjutkan perjalanan menuju puncak, dan rute perjalanan seperti itulah yang kami lakukan.Â
Mulanya, ketua tim telah menyusun rencana bahwa kami akan berkemah di pos 3. Beberapa anggota tim pun ada yang yang sudah pergi lebih dulu untuk membangun tenda, dan ketua tim menjadi sweeper di belakang. Sweeper bertugas untuk memastikan tidak ada peserta yang tertinggal.
Anggota tim yang sudah lebih dulu tiba di pos 3 pun mengabarkan ketua tim tentang kondisi di pos 3 yang sudah ramai orang dan tidak memungkinkan kami untuk membangun lima tenda di area yang sama melalui walkie talkie. Setelah mendengar kabar itu, ketua tim pun memerintahkan timnya untuk segera pergi ke pos 4 lalu mengubah rencana berkemah di pos 3 menjadi di pos 4.
Egoisme
Sesampainya peserta di pos 3, ternyata salah satu crew dari tim yang diperintah untuk pergi ke pos 4 itu masih ada di pos 3, dan ia bersikeras untuk mendirikan tenda secara terpisah atau tidak di satu area yang sama. Ia mengatakan bahwa, jika melakukan perjalanan hingga ke pos 4, itu sangat jauh dan ia tidak ingin peserta kelelahan. Waktu pun terus berjalan, dan perdebatan pun belum selesai.Â
Setelah beberapa lama berpikir, ketua tim pun datang dan bertanya "Kenapa masih di sini? Udah di pos 4 aja." Aku pun sedikit kesal dengan salah satu crew yang membuang waktu hanya untuk berpikir padahal jawabannya sudah sangat jelas, bahwa kita tidak bisa mendirikan tenda di pos 3.
Aku menurunkan rasa kesalku lalu bergegas pergi melanjutkan perjalanan ke pos 4 untuk menyusul tim yang sudah tiba di sana dengan ditemani oleh tiga orang teman. Kami pun bersama- sama berjalan menuju pos 4 sembari menikmati lembayung senja yang kian berubah menjadi malam gelap nan dingin. Aku dan dua orang teman ini pun bergegas mencari tim yang telah tiba lebih dulu, ternyata ia telah membangun satu tenda dan menunggu peserta lain dalam kondisi terbaring di dalam tenda dan meringkuk kedinginan. Aku pun bergegas memberinya jaket dan teman lain menyalakan kompor untuk menghangatkan diri.
Beberapa saat kemudian, para peserta dan tim lainnya datang dan membangun empat tenda yang belum terpasang. Setelah ada dua tenda terpasang, para peserta perempuan diminta untuk segera masuk tenda dan mengganti pakaian agar tidak kedinginan. Mendengar perintah itu, aku bergegas masuk bersama tiga peserta perempuan lainnya untuk ganti pakaian. Setelah selesai, kami pun keluar untuk mengobrol serta menikmati teh manis, kemudian menyantap gorengan dan soto yang begitu sedap buatan ketua tim.
Saling Mengenal
Awalnya aku merasa akan sulit berteman dengan orang yang baru kutemui, tapi ternyata mereka sangat baik sekali kepadaku, walaupun mulanya masih malu-malu dan belum mengobrol lebih dalam. Kami pun mulai mengobrol dan bercanda satu sama lain, dan ternyata aku merasa nyaman sekali berada di sekitar orang-orang ini.Â
Setelah sekian lama mengobrol dan perut sudah terisi, kami pun memutuskan untuk masuk ke tenda untuk beristirahat, karena besok paginya kami akan berjalan menuju tiga puncak dari Gunung Sumbing.
Setelah beristirahat kurang lebih enam jam, aku memutuskan untuk bangun dan menyiapkan barang-barang yang akan aku bawa untuk summit. Suara mengepak barang pun terdengar dari berbagai tenda, suara itu semakin membuatku bersemangat untuk menuju puncak. Semua peserta pun membuka tendanya untuk menerima santapan pagi hari yang dibuat oleh ketua tim agar kami bertenaga ketika melakukan summit.Â
Setelah sarapan, ketua tim menunjuk dua orang anggota timnya sebagai leader dan sweeper pada summit kali ini, karena ketua tim tidak akan ikut dan akan menyiapkan makanan lezat ketika kami kembali dari puncak.
Leader pada summit kali ini pun langsung meminta para peserta untuk segera berdiri dan berkumpul untuk briefing. Setelah briefing selesai kami pun berdoa menurut kepercayaan masing- masing demi kelancaran dalam perjalanan menuju puncak. Berdoa pun dicukupkan dan kami melakukan "woro-woro" untuk membangkitkan semangat, setelah itu kami langsung berjalan.
Jalur Pendakian Membuat Mental Tertekan
Jalur pendakian menuju puncak sangat melelahkan dan bisa mematahkan semangat bagi orang-orang yang tidak memiliki mental sekuat baja. Ketika berjalan, yang aku pikirkan ialah hanya ingin segera sampai di ketiga puncak yang kami tuju, yaitu Puncak Kekawah, Puncak Sejati, dan Puncak Rajawali. Perjalanan dari pos 4 menuju ke Puncak Kekawah masih terbilang jalur yang normal dalam segi jalur pendakian.Â
Berbanding terbalik dengan jalur menuju Puncak Rajawali dan Sejati. Jalur pendakiannya terbilang cukup ekstrim, karena kami perlu untuk menaiki tebing menggunakan tali tambang dan tali webbing, selain itu jalurnya pun curam, tinggi, dan menegangkan. Oleh karena itu, kami perlu ekstra hati-hati selama melakukan summit serta saling menjaga satu sama lain.
Jalur pendakian menuju puncak yang penuh lika-liku pun akhirnya berhasil kami lalui hingga tiba di puncak tertinggi, yaitu Puncak Rajawali. Aku cukup kecewa ketika tiba di sana, karena cuaca tiba-tiba berkabut atau biasa disebut dengan "tembok." Aku pun berdoa bersama temanku, berharap diberikan cuaca yang cerah agar mendapatkan view foto yang bagus dan indah. Beruntungnya, beberapa menit setelah aku berdoa, cuaca menjadi cerah dan kabut kian menghilang dari pandangan. Aku langsung meminta temanku untuk memotret diriku dengan berbagai macam gaya hingga aku mati gaya dan menyudahi aktivitas berfoto itu.
Setelah semua peserta sudah puas berfoto di atas sana, kami pun langsung bergerak lagi untuk kembali ke pos 4, karena ada es buah yang menanti untuk disantap. Ketika berjalan turun, yang aku pikirkan hanyalah lemah, letih, lesu, dan ingin segera pulang. Kakiku benar-benar sudah kelelahan, pegal, dan lecet. Dengan kondisiku yang seperti itu, aku harus tetap bergerak agar tiba ditujuanku, yaitu pulang.Â
Pikiranku yang tidak karuan membuatku berpikir untuk beristirahat beberapa waktu sebelum melangkahkan kakiku lagi. Aku terus menguatkan tekad bahwa aku bisa dan aku kuat, kemudian aku bangkit dan berlari menuju pos 4.Â
Setibanya di area berkemah dan melihat temanku sudah tiba lebih dulu, aku langsung berteriak dengan sangat kencang. Berteriak untuk mengekspresikan bahwa aku berhasil kembali. Ketua tim yang melihat kondisiku terduduk lemas sembari terengah-engah pun langsung menyodorkan gelas berisikan es buah. Aku segera menyantap es buah itu dengan penuh semangat. Setelah menyantap es buah, aku pun segera packing untuk perjalanan pulang sebelum teman-teman satu tendaku datang.
Ketika aku sedang mengemas barang-barang, ada tiga peserta yang memutuskan untuk pergi lebih dulu dan berencana untuk menunggu di basecamp, ketua tim pun mempersilahkan mereka untuk pergi.Â
Setelah selesai packing, aku pun meminta izin kepada ketua tim untuk pergi duluan, karena aku ingin santai dan tidak terburu-buru, karena ketika berjalan dengan orang yang lebih cepat, terkadang aku merasa tidak enak untuk beristirahat ketika lelah. Selain itu, agar nantinya aku tidak menghambat peserta lain, dan ketua tim pun mengizinkan.
Kembali Pulang
Aku menggendong carrier-ku dengan perasaan lelah yang tidak bisa dideskripsikan lagi. Aku terus berjalan tanpa henti, pos 3 pun kulewati. Bodohnya aku tidak berhenti di pos 3 dan membeli minum, karena ternyata aku tidak membawa air sama sekali. Tidak jauh setelah melewati pos 3, ada dua orang temanku menyapa dari belakang. Aku pun menoleh dan langsung meminta air dari mereka.Â
Aku sangat bersyukur mereka memang sengaja menghampiriku, dan aku pun bersyukur karena jika tidak ada mereka aku bisa kelelahan dan dehidrasi. Aku meneguk air dengan penuh semangat, setelah selesai salah satu temanku menawarkan hal yang sangat membuatku bersemangat "Wanzu, gimana kalau aku bawain carrier kamu, tapi kamu harus lari dan ga boleh lama", aku dengan siap menjawab "Setuju!" Aku pun bergegas lari meninggalkan mereka berdua.
Setelah berlari dengan kaki yang sudah tidak bisa dirasakan lagi itu, pada akhirnya kami bertiga pun berhasil tiba di pos 1 dengan selamat. Kami beristirahat sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk memesan ojek pangkalan. Ketika berada di atas motor, aku benar-benar bersyukur sekali, karena aku tidak menyerah di tengah jalan, tidak mengeluh yang berlebihan, dan tetap percaya diri bahwa aku bisa datang ke sana dan kembali pulang dengan selamat tanpa kekurangan satu hal pun.Â
Aku mengikuti open trip ini hanya ditemani oleh teman baru yang belum pernah aku temui sebelumnya, namun mendaki gunung adalah tentang memercayai dan dipercayai, mementingkan kepentingan kelompok dari pada ego diri sendiri, serta tentang mengetahui limit diri sendiri.Â
Dari perjalanan ini aku belajar tentang menumbuhkan keberanian diri sendiri dalam menjalani perjalanan yang sangat ingin aku lalui, mengedepankan kebahagiaan diri sendiri, serta kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama atau pun orang yang baru saya temui. Aku pun bersyukur sekali karena bisa mendapatkan teman baru yang tidak pandang bulu dalam menolong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H