Mat Sani: Wanto yang barusan saya usir tadi, yang bajunya lusuh dan kusut.
Barto: Maaf pak, kalo Wanto yang ntu tadi, bukan karyawan kita, pak. Dia mah tukang bakso yang sering nganterin pesanan karyawan kita.
Mat Sani: #Cengok#NepokJidat#Mimisan#Pengengantimuka#
Karyawan: #Tepuktangandibawahmeja#Senyumsinis#sambilngomongcuciandeheloh#
Lucu gak, sodara-sodara ? Enggak ya ? Ya udah, enggak saya terusin tulisannya kalau gitu (ngambek ceritanya..)...eh enggak deh..becanda aja braii...he..he..he. Sebenarnya banyak sekali versi dari dialog cerita lucu diatas dan sudah lama sekali sempat saya baca sebelumnya dan saya anggap nothing special, tapi kemudian, setelah melihat sitkom dari dialog diatas di salah satu situs, saya terinspirasi untuk menulis dan menceritakannya kembali kepada hadirin sekalian, tentunya dengan sedikit modifikasi (tepok tangannya sodara-sodara....he..he..he). Sekilas, mungkin dialog diatas, cuma dialog kocak yang biasa saja, tapi kok saya melihat ada ”message” penting yang ingin disampaikan dan menurut saya, pesannya adalah ”Jangan Marah”. Ya, Jangan marah !!! Jangan marah-marah !!!, buat apa marah, justru marah biasanya akan memperparah keadaan dan membuat kondusifitas suasana menjadi berkurang.
Coba anda bayangkan ya, brai...kalau anda bekerja dilingkungan kerja dengan kondisi diatas, memiliki atasan kaya Mat Sani, yang mengumbar-umbar kemarahannya tanpa bertanya baik-baik terlebih dahulu. Anda mungkin saja menjadi tidak betah dan sungkan untuk berkomunikasi dengan atasan anda., enggan membicarakan hal-hal yang mungkin saja baik untuk perusahaan, enggan untuk berinovasi, enggan untuk bertukar pikiran dan enggan-enggan lainnya. Coba bayangkan juga kalau anda yang jadi atasan kaya begitu (Ingat...setiap manusia adalah pemimpin brai...), bawahan anda juga mungkin juga akan merasakan hal yang sama. So, Kita tidak boleh marahkah ? Ntar brai, ane jawab di pembahasan di belakang...Sabar ya..
Sebagai critical stressing nya, sebelum dialog diatas, sengaja saya tuliskan kuotasinya Albert Einstein, yang saya anggap tepat untuk menggambarkan sosok Mat Sani pada dialog diatas. Alih-alih membuat orang lain, dalam hal ini karyawan lainnya, menjadi segan dan hormat kepadanya, justru kemarahannya tersebut membuat ia terlihat bodoh dan menurunkan wibawanya dihadapan para bawahan. Tentunya hal ini tidak diharapkan oleh siapapun, termasuk kita semua tentunya.
Marah Dalam Konteks Leadership and Performance
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Gerben A. Van Kleef cs dari University of Amsterdam yang dituangkan dalam sebuah jurnal dengan judul On Angry Leaders and Agreeable Followers: How Leaders’ Emotions and Followers’ Personalities Shape Motivation and Team Performance (2010). Studi ini membagi individu pada2 (dua) besaran kepribadian yaitu Higher Levels of Agreeableness Individual dan Lower Levels of Agreeable Individual. Agreeableness sendiri dalam ilmu psikologi dapat disebut juga dengan social adaptibility atau likeability dengan ciri-ciri individu yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Individu dengan agreeableness yang tinggi cenderung suka membantu, pemaaf, dan penyayang. Namun demikian, Individu yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi, ketika berhadapan dengan konflik, harga diri (self esteem) mereka akan cenderung menurun. Merujuk pada apa yang disampaikan oleh Camelia M. Kuhnen dari Kellogg School of Management dan Agnieszka Tymula dari New York University dalam tulisannya dengan judulFeedback, Self-Esteem and Performance in Organizations bahwa “People derive utility from thinking of themselves as good, productive or valuable according to social criteria, and their actions are shaped by the desire to maintain high levels of self-esteem, menjadi sangat berbahaya jika individu mengalami low self esteem, yang akan terjadi adalah kebalikan dari pernyataan diatas, dimana individu yang mengalami low self esteem cenderung berfikir dan bersikap negatif, tidak produktif dan merasa tidak bernilai.
Berbeda dengan higher levels of agreeableness individual, ciri-ciri lower levels of Agreeableness individual merupakan kebalikannya dimana mereka lebih sering terlibat dalam perdebatan, skeptis, senang berkonflik dan sinis.
Kembali kepada pembagian 2 (dua) kepribadian diatas, dalam studi pendahuluan mereka terhadap 116 individu, didapatlah kesimpulan bahwa individu dengan lower levels of agreeableness cenderung lebih termotivasi dalam bekerja jika dihadapkan pada situasi pemimpin yang marah, sedangkan individu dengan high levels of agreeableness justru menunjukkan pola yang berlawanan. Mengapa hal ini bisa terjadi ?? karena...eh..karena…individu dengan high levels of agreeableness menganggap “anger” sebagai hal yang ganjil dan konfrontasi dengan pemimpin yang marah sangat menegangkan, sehingga mereka cenderung menjadi tidak stabil atau galau, sedangkan individu dengan lower levels of agreeableness lebih toleran terhadap “anger” karena mereka tidak peduli dengan yang namanya “menjaga keharmonisan sosial” dan akibatnya mereka “kebal” terhadap konflik yang menegangkan sekalipun.
Nah, menjawab pertanyaan, apakah marah itu diperbolehkan ?? Dalam konteks keorganisasian, pertanyaannya menjadi lebih spesifik, Apakah atasan boleh memarahi bawahannya ? Menurut saya sih boleh saja, dalam konteks yang konstruktif tentunya, tidak mencemooh, tidak mengancam, tidak mempertontonkan abuse of power dan beretika tanpa menggunakan kata-kata yang bersifat negatif dan yang perlu diingat jangan sampai kemarahan itu malah membuat seseorang menjadi demotivasi, kehilangan self esteem, yang justru malah akan membuat kinerja dari unit secara umum menurun.
Masih menurut hasil studi tersebut diatas, atasan atau katakanlah pemimpin harus mampu menyesuaikan emosinya terhadap kepribadian bawahannya, apakah bawahannya termasuk kedalam kategori higher atau lower level of agreeableness individual. Seorang pemimpin yang mampu mendiagnosa kepribadian bawahannya secara akurat dan menyesuaikan emosinya terhadap kepribadian bawahannya tersebut, akan lebih berhasil dalam mengeloladan mendorong kinerja unitnya daripada pemimpin yang tidak memiliki kemampuan tersebut. Pemimpin harus mampu menyesuaikan ekspresi emosinya (katakanlah kemarahannya) dengan kepribadian bawahannya agar dapat memaksimalisasi kinerja. Ketika berhadapan dengan bawahan yang berkriteria lower levels of agreeableness, mengekspresikan emosi mungkin akan lebih efektif dalam meningkatkan kinerja bawahan tersebut., sedangkan jika berhadapan dengan bawahan yang berkriteria higher levels of agreeableness, maka sebaiknya pemimpin menahan diri untuk tidak menunjukkan amarahnya, pemimpin lebih baik bersikap bijak tanpa emosi untuk menciptakan atmosfir yang kondusif, konstruktif dan harmonis. Terkait menjaga harmonisasi dan kondusifitas atmosfir, saya cukup yakin bahwa pencapaian kinerja organisasi salah satunya merupakan hasil interaksi pemimpin dan bawahan (leader- members exchange), seperti diungkapkan oleh Greenberg dan Baron dalam LMX theory dimana penciptaan lingkungan yang kondusif bagi pencapaian kinerja optimal lebih penting daripada pencarian karakteristik pemimpin ideal.
Terakhir nih sob ya...walaupun menurut saya marah itu boleh boleh saja, namun nasihat dari Baginda Rasulullah Muhammad SAWW bahwa “Laa Taghdob wa lakal jannah” (jangan marah, bagimu surga), adalah sebaik-baik nasihat bagi kita semua. Suasana yang kondusif danrendahnya hostilitas merupakan surga bagi siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Marah secara umum tidak ada untungnya, apalagi cuma buat abuse of power atau showing off saja, yang ada kita sendiri yang stress, pusing, dan biasanya orang marah itu kehilangan kemampuan berfikir logis dan bisa jadi, akibatnya kita akan malu dan terlihat semakin bodoh, persis kaya Mat Sani.
Anda mau terlihat kaya Mat Sani…?? Saya tidak...!!
Salam Sukses…..Tetap Semangat dan ber Hasanah…!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H