Mohon tunggu...
liviany chang
liviany chang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

@li.love.ch

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menunggu yang Tak Pasti

21 Maret 2024   23:25 Diperbarui: 21 Maret 2024   23:27 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku dan dia berjanji untuk bersama tetapi nyatanya mulai tidak ada kepastian dalam hubungan ini. Kami saling mencintai dan juga saling menyakiti secara tidak sadar. Fisikku memang tidak terluka namun hati ini yang membuat semuanya terasa lebih menyedihkan. Aku tidak sanggup kehilangan dirinya sehingga membuatku tetap bertahan walau tanpa kabar.

Semua temanku mengatakan untuk mengakhiri hubungan tidak pasti ini tetapi aku tidak memedulikan perkataan itu. Aku mengenal kekasihku, aku percaya kepadanya, dan aku mencintainya. Hari itu dia berpamitan denganku untuk pergi ke luar kota. Aku kira itu hanya kepergian sementara tapi sampai saat ini dia tidak kunjung kembali. 

Aku khawatir, aku kesepian, dan aku hampir menggila. Pernikahan yang aku impikan bersama dengannya, rencana yang sudah kita bicarakan bersama dan semua itu hanya tinggal sebentar lagi untuk terlaksana. Inikah ujian sebelum pernikahan tetapi bagaimana jika aku sudah tidak sanggup lagi. Aku lelah tapi tidak ada satu pun yang mengerti diriku.

Aku seakan dipojokkan oleh keadaan tapi tidak mampu berbuat apapun. Satu setengah tahun telah berlalu dan aku selalu menatap ke arah telepon dan berharap dia menghubungiku. Ada harapan besar terdengar bunyi telepon berdering. Keluargaku mulai bertanya tentangnya yang membuatku tak tahan untuk meneteskan air mata. 

Sebelum pergi dia telah melamarku dan dia berjanji ketika ia pulang akan langsung menikahiku. Tapi apalah daya jika tidak ada kabarnya darinya hingga pikiran-pikiran negatif mulai menyeruak. Dia selingkuh, aku dibuang, dia sudah tidak mencintaiku, dan dia melupakanku. Aku merasa lelah untuk tetap begini dan mungkin memang benar untuk putus darinya. 

Andai saja sebelum pergi, dia bilang akan ke mana maka aku pasti bisa menemuinya. Dia selalu mengelak dan seakan memendam suatu rahasia besar. Walau aku terus memaksa, dia hanya tersenyum tanpa menjawab bahkan mengalihkan pembicaraan. Aku merasa dia tidak bisa terbuka kepadaku karena dia tidak sepenuhnya mempercayaiku. 

Aku mengandalkan peruntungan dan mencoba meneleponnya kembali untuk terakhir kali dan benar saja akhirnya berhasil mendengar suaranya. Aku meminta untuk putus dengannya walau hati belum sepenuhnya rela. Rasanya lega tapi jug beriringan dengan rasa sakit yang mendera. Dia meminta maaf jika belum bisa menjadi kekasih yang baik selama ini. 

Dia mengharapkan agar aku bertemu dengan pria yang jauh lebih baik darinya. Ucapan macam apa ini, kukira dia akan menahanku. "Aku sudah menunggunya tapi dia tidak peduli terhadapku," kataku sambil menangis dan menutup telepon. Aku berusaha memulai lembaran baru, percuma saja selama ini aku terlalu berharap kepadanya.

Mengharapkan manusia hanya membuat sakit hati. Aku mulai melakukan banyak aktivitas untuk melupakan mantan kekasihku mulai dari bekerja, berolahraga, bahkan melakukan kegiatan sukarelawan. Aktivitas yang padat selama dua minggu mengalihkan pikiranku darinya dan semuanya berjalan normal hingga teleponku berdering. Ibu dari mantan kekasihku menelepon dan menanyai kabarku dengan suara yang sendu.

Aku bingung, khawatir, dan panik jika ada hal buruk yang terjadi. Tidak berselang lama, ibu mengatakan jika Rio, mantan kekasihku itu meninggal dunia. Aku mendadak tidak bisa berkata-kata dan tubuh ini terasa lemas. Telepon ini lepas dari genggamanku yang membuat ayahku terkejut dan berlari menghampiriku. 

Aku tidak bisa lagi menjawab telepon itu dan hanya berdiam diri bagaikan patung. Ayahku melanjutkan panggilan telepon itu dan memelukku dengan erat. Setelahnya, aku dan sekeluarga menghadiri pemakaman Rio. Saat aku melihat wajahnya aku mulai menangis dengan keras.

Ibu Rio mulai menceritakan tentang kanker yang diderita oleh Rio dan diketahui setelah pertunangan kami. Rio berusaha keras agar sembuh untuk bisa memenuhi janjinya. Dia begitu ingin menikahi dan bersamaku sehingga menjalani perawatan dengan semangat. Hingga akhirnya, aku yang mulai lelah dengan keadaan dan tidak tahu apapun memutuskannya.

Hal yang membuatku lebih sedih adalah dia menerima teleponku setelah merasa mulai membaik tapi nyatanya aku menghancurkan harapannya. Aku merasa bersalah kepadanya tapi semuanya sudah terlambat. Andai saja, aku tetap bertahan dalam ketidakjelasan ini mungkinkah akhirnya akan berbeda. Ibu Rio meminta agar aku tidak menyalahkan diri dan meminta maaf atas tindakan pengecut anaknya yang tidak ingin aku tahu akan sakitnya. 

Rio tidak ingin melihat aku khawatir ataupun bersedih hingga memilih dan meminta kepada orang-orang terdekatnya untuk merahasiakan semuanya. Pada kenyataannya semua itulah yang membuatku lebih terpuruk dan bersedih seakan menjadi orang jahatnya di sini. Komunikasi adalah kunci penting dalam hubungan tapi Rio tidak memberikannya kepadaku. 

Tiga tahun berlalu, aku tetap merindukan dan terbayang akan dirinya. Pria yang pernah menjadi kekasihku dan akan menjadi suamiku. Aku belum bisa menemukan seseorang yang bisa lebih baik darinya sebagai harapan terakhirnya. Entah karena benar-benar tidak ada atau aku yang belum bisa sepenuhnya membuka diri. 

Aku meminum kopi dan bercengkerama dengan teman-teman perempuanku. Mereka tidak berhenti-henti untuk menjodohkanku karena hanya aku yang belum menikah di antara mereka. Aku hanya bisa tersenyum dan tetap menikmati suasana di kedai kopi. Hingga sepasang mata ini melihat sesuatu yang amat dikenal dan dirindukan. 

Ada beberapa anak SMA dan salah satunya mirip dengan Rio. Aku merasa itu keajaiban dan mulai menghampiri mereka yang membuat teman-temanku kebingungan. 

"Hei, bisakah kamu tersenyum sebentar," kataku sambil menunjuk ke arahnya. 

Dia bingung tapi tetap tersenyum dan membuat air mataku keluar begitu saja.

"Terima kasih, aku Amira", kataku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun