Ibu Rio mulai menceritakan tentang kanker yang diderita oleh Rio dan diketahui setelah pertunangan kami. Rio berusaha keras agar sembuh untuk bisa memenuhi janjinya. Dia begitu ingin menikahi dan bersamaku sehingga menjalani perawatan dengan semangat. Hingga akhirnya, aku yang mulai lelah dengan keadaan dan tidak tahu apapun memutuskannya.
Hal yang membuatku lebih sedih adalah dia menerima teleponku setelah merasa mulai membaik tapi nyatanya aku menghancurkan harapannya. Aku merasa bersalah kepadanya tapi semuanya sudah terlambat. Andai saja, aku tetap bertahan dalam ketidakjelasan ini mungkinkah akhirnya akan berbeda. Ibu Rio meminta agar aku tidak menyalahkan diri dan meminta maaf atas tindakan pengecut anaknya yang tidak ingin aku tahu akan sakitnya.Â
Rio tidak ingin melihat aku khawatir ataupun bersedih hingga memilih dan meminta kepada orang-orang terdekatnya untuk merahasiakan semuanya. Pada kenyataannya semua itulah yang membuatku lebih terpuruk dan bersedih seakan menjadi orang jahatnya di sini. Komunikasi adalah kunci penting dalam hubungan tapi Rio tidak memberikannya kepadaku.Â
Tiga tahun berlalu, aku tetap merindukan dan terbayang akan dirinya. Pria yang pernah menjadi kekasihku dan akan menjadi suamiku. Aku belum bisa menemukan seseorang yang bisa lebih baik darinya sebagai harapan terakhirnya. Entah karena benar-benar tidak ada atau aku yang belum bisa sepenuhnya membuka diri.Â
Aku meminum kopi dan bercengkerama dengan teman-teman perempuanku. Mereka tidak berhenti-henti untuk menjodohkanku karena hanya aku yang belum menikah di antara mereka. Aku hanya bisa tersenyum dan tetap menikmati suasana di kedai kopi. Hingga sepasang mata ini melihat sesuatu yang amat dikenal dan dirindukan.Â
Ada beberapa anak SMA dan salah satunya mirip dengan Rio. Aku merasa itu keajaiban dan mulai menghampiri mereka yang membuat teman-temanku kebingungan.Â
"Hei, bisakah kamu tersenyum sebentar," kataku sambil menunjuk ke arahnya.Â
Dia bingung tapi tetap tersenyum dan membuat air mataku keluar begitu saja.
"Terima kasih, aku Amira", kataku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H