Hingga akhir SMA, aku masih berteman dengan Renjana. Dia selalu ada untukku, bergitu pula sebaliknya. Renjana memang tidak bersekolah, tapi dia anak yang pintar dan berbakat. Terkadang ketika berpergian, dia membeli buku pelajaran di pasar loak dengan sisa tabungannya. Dia pun direkrut menjadi tukang bangunan. Kami sama-sama sibuk.
Beberapa tahun kemudian, ada berita baik menimpaku. Aku mendapatkan beasiswa kuliah di Tokyo, Jepang. Tentu aku dan orang tuaku gembira. Tapi yang membuatku sedih adalah harus berpisah dengan Renjana. Beberapa hari setelah menerima surat lulus beasiswa, aku berpamitan kepada Renjana yang sedang berada di proyek pekerjaannya. Tidak bisa bohong. Wajah Renjana terlihat menahan tangis. Begitu pula denganku. Setelah beberapa menit berbicara empat mata, Renjana melepasku. Tiba saatnya aku harus ke bandara.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, pikiranku hanya berisi tentang teman masa kecilku. Saat ada kelas, atau jalan-jalan bersama teman baru, Renjana menghantui diriku. Kami tidak bisa saling berkomunikasi karena Renjana tidak memiliki ponsel. Ingin memberinya surat, tetapi aku tidak tahu alamatnya dimana. Karena selama ini Renjana tidak pernah menunjukkan dimana letak rumahnya berada. Yang kutahu hanya pasar. Aku menyesal. Kenapa tidak kutanya saja sebelum pergi? Aku benar-benar bodoh!
Kalender terus berganti hingga menunjuk pada tanggal liburan musim panas di Jepang. Tidak perlu berpikir dua kali, aku membeli tiket ke Indonesia. Benih perasaan rindudan cinta itu tumbuh. Aku ingin bertemu orang tuaku, dan Renjana. Perasaan bahagia menyelimuti diriku. Secepat mungkin aku menuju bandara dan siap meninggalkan Jepang.
Perasaan bahagia itu hancur dalam sekejap. Aku berdiri di depan pasar yang telah lama tak kulihat. Hujan membasahi tanah airku. Seorang wanita tua menghampiriku sambil menangis. Dia ibunya Renjana. Wanita tua itu memegang lenganku, wajahnya tertunduk. “Mala. Ibu senang kau kembali ke sini. Tapi jika kau mencari Renjana, dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. 1 minggu yang lalu, Renjana mengalami kecelakaan hingga kekurangan banyak darah. Maafkan ibu karena tidak bisa menjaganya untukmu! Mala, Renjana mencintaimu, nak. Dia selalu memikirkanmu.” Tangis wanita tua itu pecah. Tubuhku lemas dan terjatuh. Air mata mulai mengalir di wajahku. Tak bisa berkata-kata. Hatiku sakit. Seolah-olah jutaan panah menusuk diriku.
Renjana, apakah kau bisa mendengarkanku dari surga? Aku mencintaimu. Bisakah kita bertemu lagi di kehidupan selanjutnya? Selamat istirahat, kekasihku, matahariku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H