Mohon tunggu...
Livia Devina Mamahi
Livia Devina Mamahi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajaran Sekolah

Hai. Saya Livia Devina Mamahi. Panggil saja Vina. Diumur 15 tahun ini, hal yang selalu membuat kepikiran adalah mengisi kesibukan. Kesibukan yang dimaksud adalah kesibukan yang tidak biasa-biasa saja. Saya suka nonton, tapi kalau dipikir-pikir kurang tenang jika tidak menghasilkan sesuatu. Maka dari itu, kesempatan emas ini akan saya jadikan lapak untuk berbagi cerita dengan menjadi penulis. Mohon tunggu karya-karya saya selanjutnya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Matahariku

29 Juli 2023   11:34 Diperbarui: 29 Juli 2023   11:49 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Art : Manuhamu on twitter

            Aku sampai di pasar sekitar 30 menit setelah menaiki becak. Mataku melesat cepat menyelusuri sekitar pasar untuk mencari spot foto. Di sore hari, masih ada beberapa orang yang membeli sesuatu di pasar walaupun tidak se-ramai di pagi hari. Langkahku berhenti ketika melihat seorang anak laki-laki sepantaran denganku, sedang membantu ibunya berjualan. Aku mulai mengangkat kameraku dan.. 

CEKRIK

            Dengan perasaan tidak sabar, aku segera melihat hasil foto. Hmm..kurang bagus. Sekali lagi, aku mengarahkan kameraku ke arah mereka. Dan..eh? Anak laki-laki itu menghilang dari frame kamera. Kemana perginya anak laki-laki itu? Bukankah tadi bersama ibunya?

            “Kamu memfoto ku ya?” Suara tak dikenal berasal dari belakangku. Aku langsung menoleh ke sumber suara. Hey, dia anak laki-laki yang hendak kufoto! Agar tidak salah paham, aku pun menjelaskan alasan kenapa aku memfotonya. Lucunya, anak laki-laki itu langsung kembali pada ibu dan dagangannya, lalu berpura-pura melayani pelanggan. Setelah mengambil beberapa jepretan, aku berhasil mendapatkan foto yang bagus.

            Ketika kakiku hendak melangkah keluar pasar, anak laki-laki itu menghampiriku. Dia mengulurkan tangannya. “Aku Renjana. Kalau boleh tahu namamu siapa?” Katanya sambil mengulurkan tangan. Melihat itu, aku juga mengulurkan tangan. “Aku Mala. Terima kasih sudah mau membantu tugas sekolahku.”

            Keesokan harinya, ibu menyuruhku untuk membeli tempe di pasar setelah pulang sekolah. Hari ini tidak ada ekstra fotografi. Jadi setelah jam pulang, aku langsung naik becak menuju pasar. Hari ini cuaca begitu cerah, jadi tidak halangan selama perjalanan.

            Sesampainya di pasar, aku berlari menuju penjual yang menjual tempe. Mataku dengan gesit mencari-cari dimana tempe itu dijual.

           “Halo, Mala.” Seseorang memanggilku. Aku kenal suara ini. Dengan cepat, aku langsung menoleh. Orang itu Renjana. Dia memakai kaos putih dan celana selutut. Rambutnya berantakan dan kulitnya kusam. Aku yakin dia bersikeras membantu ibunya berjualan. “Halo, Renjana.” Kakiku melangkah menghampirinya. Renjana bertanya apa yang kucari, dan aku menjelaskan bahwa aku sedang mencari tempe. Dengan wajah senang, Renjana menarikku pergi ke tempat dagangannya. Di sana, ada ibunya yang sedang melayani pelanggan lain. “Di sini jualan tempe. Ayo dibeli, Mala!” Seru Renjana. Wajahnya yang bahagia membuatku berpikir bahwa dia matahariku. Dengan senang hati aku membeli tempe di tempat dagangan Renjana dan ibunya. Toh aku tidak perlu repot-repot mencari.

            Semenjak saat itu, kami berteman. Bahkan setelah pulang sekolah aku selalu ke pasar untuk menemui Renjana. Renjana memiliki sepeda jadul, dan dia selalu memakainya untuk bepergian. Ketika pulang sekolah dan langsung menuju pasar, Renjana menawariku untuk dibonceng dan berkeliling menuju berbagai tempat. Dengan senang hati aku menerima tawaran itu. Tidak lupa, aku menyiapkan kamera pemberian ayah untuk memfoto tempat-tempat yang kami kunjungi.

           Terkadang ketika pulang sekolah, Renjana menjemputku di depan gerbang dengan sepeda jadulnya. Renjana tahu sekolahku karena hasil kami berkeliling dari tempat ke tempat. Hari-hariku yang dulunya hanya menantikan ekstra fotografi, sekarang aku juga menantikan keberadaan Renjana. Jika kalian bertanya-tanya soal sekolah Renjana, Renjana tidak bisa sekolah. Ekonomi keluarga tidak memadai. Itulah sebabnya dia membantu ibunya berjualan.

          Waktu itu, kami pernah pergi ke sebuah festival layang-layang. Keramaian menyelimuti area lapangan. Entah itu orang tua, remaja, ataupun anak-anak. Renjana memarkirkan sepeda jadulnya dan menarikku ke tempat pertandingan layang-layang berlangsung. “Mala, aku akan bertanding layang-layang dengan yang lain. Lihat aku!” Ucap Renjana bersemangat. Aku terkesima ketika melihat Renjana yang bermain layang-layang dengan begitu lincahnya. Dari kejauhan aku bersorak menyemangatinya, membuat penonton yang lain ikut bersorak antusias kepada Renjana. Pertandingan pun selesai dan Renjana memenangkannya dengan mudah. Dia mendapat hadiah baju, uang dan tempat minum dari panitia lomba. Tak lupa aku memfotonya. Lihatlah! Senyum Renjana manis sekali!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun